Wednesday, November 22, 2017

Sejarah Kodifikasi al-Quran

Makalah
Sebagai Tugas Mata Kuliah Ulumul Quran
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Dosen Pengampu: H. Taufiqurrahman, Lc. M.Th.I










Penulis:
Hoirul Anam - 01035
M. Khalilurrahman - 01036
Moh. Fahrur Rosi - 01037
Hadari - 01038


PAMEKASAN
2017







Kata Pengantar
بسم الله الرحمن الرحيم
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas Makalah Mata Kuliah Ulumul Quran program studi Pendidikan Agama Islam (PAI) dibawah bimbingan Dosen Pengampu: H. Taufiqurrahman, Lc, M.Th.I dengan judul: Sejarah Kodifikasi Al-Quran.
            Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu, kami mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para penulis dan pembaca lainnya.

Kelompok IV:
Hoirul Anam
M. Khalilurrahman
Moh. Fahrur Rosi
Hadari








Daftar Isi
Halaman Sampul
Kata Pengantar       
Daftar Isi                                                                            
BAB I Pendahuluan 
A.    Latar Belakang
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan Penulisan
D.    Penegasan Judul
BAB II Pembahasan
A.    Sejarah Kodifikasi al-Quran
B.     Priode-priode Kodifikasi al-Quran
C.     Perbedaan Priode Kodifikasi al-Quran
D.    Penulisan al-Quran Setelah Masa Khalifah
BAB III Penutup
A.    Kesimpulan
B.     Saran-saran
Catatan Kaki
           




BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Al-Quran adalah merupakan petunjuk dan rahmat bagi umat seluruh alam, serta mampu membimbing umat Islam kapanpun dan dimanapun. Al-Quran adalah mu’jizat yang abadi, dan kemu’jizatannya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Al-Quran diturunkan Allah swt. kepada rasulnya Muhammad saw. untuk mengeluarkan manusia dari alam kejahiliyaan menuju alam keilmuan serta membimbing pada jalan yang lurus.
Untuk pertama kalinya al-Quran dicetak dalam bentuk mushaf di Bunduqiyah pada tahun 1530 M, tetapi begitu keluar, penguasa gereja mengeluarkan perintah pemusnahan kitab suci agama Islam ini. Cetakan selanjutnya adalah atas usaha seorang Jerman bernama Hinkelman pada tahun 1694 M. di Hamburg (Jerman). Disusul kemudian oleh Marracci pada tahun 1698 M. di Padoue. Sayangnya, tidak satupun dari al-Quran cetakan pertama, kedua, maupun ketiga yang tersisa dalam dunia Islam. Dan sayangnya pula, perintis penerbitan al-Quran pertama itu dari kalangan non-Muslim.
Penerbitan al-Quran dengan label Islam baru dimulai pada tahun 1787 M. Yang menerbitkannya adalah Maulaya Utsman. Mushaf cetakan itu lahir di Saint Petersbourh, Rusia, atau Leningrad, Uni Soviet sekarang. Lahir lagi kemudian mushaf cetakan di Kazan. Kemudian terbit lagi di Iran. Tahun 1248 H/1828 M, negeri Persia ini menerbitkan mushaf cetakan di Kota Teheran. Lima tahun kemudian, yakni tahun 1833, terbit lagi cetakan di Tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran, setahun kemudian (1834) terbit lagi mushaf cetakan di Leipzig, Jerman.
Di negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan al-Quran diperempatan pertama abad 20. Panitia yang dimotori para syeikh Al-Azhar ini pada tahun 1342 H/1923 M berhasil menerbitkan mushaf al-Quran cetakan yang bagus. Mushaf yang pertama terbit di negara Arab ini dicetak sesuai riwayat Hafs atas riwayat Ashim. Sejak itu berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir di berbagai Negara.
Tulisan al-Quran mengandung rahasia dan makna tertentu yang akal tidak bisa menjangkaunya. Mu’jizat al-Quran tidak hanya terletak pada arti atau maknanya, akan tetapi juga terdapat pada susunan perkataan dan bentuk huruf ejaan. Kalau bentuk tulisan dirubah, maka menjadi hilanglah kemu’jizatannya, seperti, bagaimana akal bisa menalar penambahan alif pada lafadz مائة dan tidak pada lafadz فئة begitu juga menambah alif pada lafadz سعوا surah al-Hajj:51 dan menguranginya pada lafadz سعو as-Saba’:5 dan banyak lainnya. Mengapa kalimatnya sama akan tetapi disini hurufnya ditiadakan dan pada lainnya ditetapkan?
Ulama mengatakan bahwa sebenarnya itu semua adalah rahasia dari tuhan dan tujuan dari Nabi, tulisan al-Quran dan hurufnya adalah sama halnya dengan huruf-huruf potongan yang terdapat pada fawatihus suwar, tidak ada manusia yang mengerti maksud rahasianya.
Dengan adanya latar belakang ini, penulis mengangkat judul SEJARAH KODIFIKASI AL-QURAN agar tidak meluasnya rumusan masalah yang akan dibahas.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah kodifikasi al-Quran?
2.      Bagaimana priode-priode kodifikasi al-Quran?
3.      Bagaimana perbedaan priode kodifikasi al-Quran?
4.      Bagaimana penulisan al-Quran setelah masa Khalifah?
C.       Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui sejarah kodifikasi al-Quran.
2.      Untuk mengetahui priode-priode kodifikasi al-Quran.
3.      Untuk mengetahui perbedaan priode kodifikasi al-Quran.
4.      Untuk mengetahui penulisan al-Quran setelah masa Khalifah.
D.       Penegasan Judul
1.      Sejarah; kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi di masa lampau.
2.      Kodifikasi; pembukuan atau pengumpulan.
3.      Al-Quran: kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui proses wahyu.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Sejarah Kodifikasi al-Quran
Al-Quran pada zaman Nabi Muhammad saw. belum dibukukan dalam satu mushaf, karena al-Quran itu diturunkan dengan berangsur-angsur sampai dua puluh tahun lamanya atau lebih, dan karena sebagian ayat-ayatnya ada yang di nasakh (diganti, tidak terpakai). Walau pun begitu, al-Quran pada zaman beliau betul-betul terpelihara dengan sempurna, karena disamping beliau menganjurkan para sahabat untuk menghafalkan, beliau juga mempunyai beberapa juru tulis wahyu (kuttabul wahyi) yang dihadapan beliau mereka menulis, dengan perintah dan ikrarnya.
Para kuttabul wahyi ini adalah orang-orang yang terkenal tinggi amanahnya, sempurna agamanya, unggul akal dan ketelitiannya dan disamping itu mereka juga pandai pada bidang tulis-menulis. Yang masyhur diantara mereka adalah:[1] Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Sufyan, Ibn Said bin ‘Asy bin Ummihi, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Thabit, Shurohbil bin Hasanah, Abdullan ibn Rowahah, Amr bin ‘Asy, Abdullah ibn Arqom az-Zuhri, dan Handhallah ibn Robi’ al-Asadi.
Umat Islam dan para ulama’nya telah sepakat bahwa sahabat tidaklah menulis kecuali apa yang telah didengar pasti dari Rasulullah saw, disamping Rasulullah sendiri juga melarang menulis selain al-Quran. Sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Muslim, “janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali al-Quran. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Quran, hendaklah ia menghapusnya.”[2]

B.     Priode-priode Kodifikasi al-Quran
Ada tiga priode pengumpulan al-Quran sejak zaman Rasulullah saw, yaitu: (1) priode Rasulullah saw, (2) priode Khalifah Abu Bakar As-Shidiq, dan (3) priode Khalifah Utsman Bin Affan.
1.      Priode Rasulullah saw
      Al-Quran selain dihafal dan difahami isinya juga ditulis sewaktu Rasulullah masih hidup. Jumlah sahabat yang telah menulis al-Quran tidak kurang dari 43 orang.[3] Namun yang paling sering bersama Rasulullah dan banyak menuliskan ayat-ayat al-Quran yang diturunkan di Madinah (ayat Madaniyah) adalah Zaid bin Thabit, karena memang dialah  sekretaris wahyu pribadi Rasulullah, maka ia selalu mendampingi beliau dimanapun berada. Nabi muhammad akan menunjuk yang lainnya jika Zaid berhalangan. [4]
      Perhatian Rasulullah terhadap penulisan al-Quran tidak hanya setelah beliau hijrah ke madinah, tetapi juga selahi beliau masih berada di mekah, meskipun pada waktu itu jumlah kaum muslim masih sedikit dan sarana untuk penulisan masih langka serta kesempatan untuk menuliskan ayat-ayat al-Quran masih terbatas. Proses penulisan pada masa Rasulullah sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis berupa al-‘usb (pelepah kurma), al-likhaf (batu-batu yang tipis), ar-riqa’ (potongan dari kulit kayu atau dedaunan), al-karanif (kumpulan pelepah kurma yang lebar), al-aqtab (kayu yang diletakkan dipunggung unta sebagai alas untuk ditunggangi, pakapah (madura, red)), aktaf (tulang kambing atau tulang unta yang lebar).[5] Kemudian disimpan di rumah Rasulullah dalam keadaan masih terpencar ayat-ayatnya dan belum dihimpun dalam suatu mushaf atau masih menjadi suhuf al-Quran.
      Pada zaman Rasulullah saw, ayat-ayat yang terpisah turunnya telah tersusun dan terkumpulkan dalam suratnya masing-masing dengan isyarat dan petunjuk dari Rasulullah, setiap turun sesuatu dari al-Quran Rasulullah menyuruh para sahabat menuliskannya dan meletakkan dalam surat tertentu dan ayat tertentu. Jadi pada zaman Rasulullah al-Quran telah tersusun semua urutannya seperti sekarang, baik dalam lafalnya ataupun tulisannya, hanya belum terkumpul menjadi satu buku (mushaf) bahkan masih terpisah-pisah.
      Suhuf al-Quran yang disimpan di rumah Rasulullah dan diperkuat dengan naskah-naskah al-Quran yang dibuat oleh para penulis wahyu untuk pribadi masing-masing serta ditunjang oleh hafalan para sahabat hafidz al-Quran yang tidak sedikit jumlahnya, maka semua itu dapat menjamin al-Quran tetap terpelihara secara lengkap dan murni (original), sesuai dengan janji Allah swt. dalam surah al-Hijr: 9 yang artinya: “sesunguhnya aku telah menurunkan peringatan (al-Quran) dan sesungguhnya aku telah memeliharanya/mengamankannya.”[6]

2.      Priode Khalifah Abu Bakar As-Shidiq
      Setelah Rasulullah wafat, sahabat Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, terjadilah gerakan pembangkangan membayar zakat bahkan ada yang keluar dari agama Islam (murtad) dibawah pimpinan seorang yang mengaku nabi Musailimkah al-Kaddzab.[7] Untuk menghadapi ini, Khalifah Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid untuk memburu mereka hingga terjadilah perang Yamamah, pada tahun 12 H, yang menewaskan sekitar sembilan ratus tujuh sahabat termasuk tujuh ratus huffadzil qur’an. Dengan banyaknya huffadz yang terbunuh, dikhawatirkan kelestarian al-Quran banyak yang hilang. Maka sayyidina Umar bin Khattab meminta kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Quran dari berbagai sumber menjadi satu mushaf, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan. Dan ditunjuklah sahabat Zaid bin Thabit selaku sekretaris al-Quran pada masa Rasulullah menjadi ketua lajnah atau panitia.[8]
Sebab-sebab dipilihnya Zaid dalam tugas pengumpulan al-Quran, antara lain:[9]
a.       Zaid termasuk hafidz al-Quran.
b.      Zaid termasuk penulis wahyu untuk Rasulullah.
c.       Zaid adalah seorang yang cerdas, wara’ berakhlak mulia, teguh pada agama dan menjunjung tinggi amanat.
      Zaid sangat berhati-hati dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia seorang penulis wahyu yang utama dan hafal seluruh al-Quran. Ia dalam menjalankan tugasnya berpegang teguh pada beberapa hal, yaitu:
1)      Ayat-ayat yang ditulis dihadapan Rasulullah dan disimpan dirumah beliau.
2)      Ayat-ayat yang dihafalkan oleh para sahabat yang hafidz al-Quran.[10]
3)      Tidak menerima sesuatu dari yang ditulis sebelum disaksikan (disetujui) oleh dua orang saksi[11], bahwa ia pernah ditulis dihadapan Rasulullah.[12]
      Tugas menghimpun al-Quran itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang dari 1 tahun, yakni antara setelah terjadinya perang Yamamah dan sebelum wafat Abu Bakar. Dengan demikian tercatatlah dalam sejarah bahwa Abu Bakar sebagai orang yang pertama-tama menghimpun al-Quran dalam mushaf, Umar sebagai orang yang pertama-tama mempunyai ide menghimpun al-Quran dan Zaid sebagai orang yang pertama-tama melaksanakan penulisan al-Quran dalam satu mushaf.
      Pengumpulan pada masa Khalifah Abu Bakar berhasil dengan kesepakatan para sahabat terhadap keshahihan dan penelitiannya, serta mereka sepakat atas tidak adanya tambahan dan pengurangan. Mereka menerimanya secara sungguh-sungguh sampai berperan aktif terhadap apa yang memang dibutuhkan.
      Mushaf karya Zaid yang telah dibukukan kemudian disimpan oleh Abu Bakar, setelah kematian beliau selanjutnya disimpan oleh sayyidina Umar, dan setelahnya disimpan di rumah sayyidatina Hafsah binti Umar atas pesan Umar dengan pertimbangan, bahwa Hafsah adalah istri Rasulullah yang juga penghafal al-Quran dan pandai baca tulis. Disamping itu, masalah Khalifah pengganti Umar masih harus dimusyawarahkan terlebih dahulu, jadi Utsman belum ditentukan sebagai Khalifah pada waktu itu.

3.      Priode Khalifah Utsman Bin Affan
      Ketika pembebasan Islam terhadap wilayah-wilayah lain semakin meluas, para sahabat Rasulullah menyebar ke berbagai wilayah tersebut. Mereka mengajarkan al-Quran kepada para penduduk, juga masalah keagamaan. Setiap sahabat mengajarakan al-Quran dengan tujuh dialek[13]  (qiroah sab’ah) yang diterima (dari Rasulullah) sesuai dengan siapa yang mengajarkan di wilayah tersebut.
      Dikisahkan bahwa ketika pengiriman ekspedisi militer ka Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang bacaan al-Quran muncul di kalangan tentara-tentara muslim, yang sebagiannya direkrut dari Syiria (Syam)[14] dan sebagian lagi dari Irak[15]. Perselisihan ini cukup serius bahkan sebagian pada sebagian lainnya saling mengkafirkan. Tidak ingin masalah larut, Hudzaifah al-Yamani melaporkannya kepada Khalifah Utsman dan mendesak beliau agar mengambil langkah pengumpulan al-Quran kembali.[16] Khalifah Utsman kemudian membentuk panitia yang terdiri dari empat orang, yakni Zaid bin Thabit, bersama tiga anggota keluarga Mekah terpandang (suku Quraisy), Sa’id Bin Al-‘Ash, Abdullah Bin Zubair Dan Abdurrahman Bin Al-Harits. Panitia ini diketuai Zaid dan bertugas menyalin suhuf al-Quran yang disimpan oleh Hafsah, sebab suhuf Hafsah itulah yang dipandang sebagai suhuf standard.[17]
      Setelah terjadi kesepakatan antara Khalifah Utsman dengan para sahabat tentang pengumpulan al-Quran dengan satu dialek satu metode dan cara yang bersih, maka Utsman sepakat terhadap terbebasnya al-Quran dari persoalan dialek dan terhadap kedalaman dan ketetapannya. Hal yang dilakukan Khalifah Utsman untuk pembukuan al-Quran kali ini adalah dengan:[18]
1)      Utsman meminta Hafsah untuk mengirimkan mushaf yang ada padanya, agar disalin kedalam mushaf-mushaf lalu dikembalikan.
2)      Mushaf salinan tersebut disyahkan kepada Zaid dan ketiga sahabat yang lain, dan telah disatukan pada satu dialek.[19]
3)      Jika dalam satu-ayat berturut-turut (mengandung) lebih dari satu bacaan, maka ayat tersebut ditulis bersih dari tanda-tanda apapun yang memotong atau memendekkan ucapan atas satu bacaan.
      Setelah panitia Zaid berhasil melaksanakan tugasnya, suatu naskah otoritatif (absah) al-Quran , yang sering juga disebut mushaf Utsmani, telah ditetapkan. Utsman menyebarkan salinan tersebut ke seluruh wilayah Islam. Utsman juga menyertakan seorang pendamping mushaf[20], yakni orang yang bacaannya valid,[21] disertai intruksi bahwa semua mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsmani yang terkirim harus dimusnahkan atau dibakar.[22] Alhamdulillah, hampir semua umat Islam termasuk para sahabat Rasulullah menyambut dengan baik dan mematuhi intruksi Khalifah dengan senang hati.[23] Dan setiap bulan Ramadhan Zaid berada di madinah, melakukan pemeriksaan terhadap mushaf. Orang-orang pun menyerahkan mushafnya kepada Zaid agar diperiksa.[24]
      Khalifah Utsman sendiri memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar harus memenuhi persyaratan berikut:
a.       Terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.[25]
b.      Mengabaikan ayat yang bacaannya di nasikh dan ayat tersebut tidak diyakini dibaca kembali di hadapan Rasulullah pada saat terakhir.
c.       Kronologis surat dan ayat yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsmani.
d.      Sistem penulisan yang digunakan mampu mencakup qiraat yang berbeda sesuai dengan lafadz-lafadz al-Quran ketika turun.
e.       Semua yang bukan termasuk al-Quran dihilangkan.[26]
Marwan bin al-Hakam seorang khalifah dari dinasti Umayyah (w. 65 H) pernah meminta Hafsah agar suhufnya itu dibakar, tetapi ditolak oleh Hafsah. Baru setelah Hafsah wafat, suhufnya diambil oleh Marwan dan dibakarnya. Tindakan Marwan ini terpaksa dilakukan, demi untuk mengamankan keseragaman mushaf al-Quran yang telah diusahakan oleh Khalifah Utsman dengan menyalin seluruh isi suhuf Hafsah ke dalam mushaf Utsman, dan lagi untuk menghindarkan keragu-raguan umat Islam di masa yang akan datang terhadap mushaf al-Quran jika masih terdapat dua naskah (suhuf Hafsah dan mushaf Utsman).[27]

C.    Perbedaan Priode Kodifikasi Al-Quran
Perbedaan “pengumpulan” secara lahir adalah pada pengumpulan al-Quran priode Abu Bakar yang pada saat itu tulisan al-Quran masih terpisah-pisah, lalu Abu Bakar memerintahkan untuk mengumpulkannya. Dengan demikian, maka pengertian “pengumpulan” tidak memerlukan perbedaan antara masa Rasulullah saw. dengan masa Abu Bakar. Akan tetapi permasalahan dan kesamaran terdapat pada “dua pengumpulan”, yakni pada priode kedua (Abu Bakar) dan pada priode ketiga (Utsman).
Sesungguhnya para ulama mengambil perbedaan –antara pengumpulan pada priode Abu Bakar dan priode Utsman– sebagai partisipasi mereka untuk menghilangkan kesamaran dalam pengumpulan al-Quran itu sendiri, sehingga dengan sendirinya terungkap adanya beberapa perbedaan:
a.       Priode Khalifah Abu Bakar;
1)      Motivasi penulisannya adalah adanya kekhawatiran akan hilangnya al-Quran bersamaan degan hilangnya para penghafalnya.
2)      Dilakukan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan al-Quran yang terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang dan sebagainya.
3)      Tetap memberlakukan tujuh qiraat (yang berarti keragaman tulisan/bacaan).
4)      Pengumpulan hanya berdasar pada urutan ayat.
b.      Priode Khalifah Utsman
1)      Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di dalam cara membaca al-Quran (qiraat).
2)      Memberlakukan satu qiraat (yang berarti keseragaman tulisan/bacaan).
3)      Pengumpulan berdasar pada urutan ayat dan surat.

D.    Penulisan al-Quran Setelah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis atas perintah Khalifah Utsman tidak memiliki harkat dan tanpa titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qiraat yang tujuh. Setelah banyaknya orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan membaca mushaf yang tidak berharkat dan bertitik itu. Pada masa Khalifah Abdul Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana muslim terkemuka saat itu. Oleh karena itu penyempurnaan pun segera dilakukan. Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad (w. 67 H) yang diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari Persia untuk meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang, dan Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqofi (w. 95 H) yang melakukan penyempurnaan terhadap mushaf Utsmani pada sebelas tempat yang memudahkan membaca mushaf.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad 3 H (atau akhir abad 9 M) ketika proses penyempurnaan naskah mushaf Utsmani selesai dilakukan. Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali meletakkan tanda titik pada mushaf Utsmani, ketiga orang itu adalah Abu al-Aswad ad-Du’ali, Yahya bin Ya’mar (45-129 H) dan Nashr bin Ashim al-Laits (w. 89 H). Adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah, tasydid adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Azdi yang diberi kun-yah Abu Abdirrahman (w. 175 H).
Upaya penulisan al-Quran yang bagus merupakan upaya lain yang telah dilakukan generasi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah al-Walid (memerintah dari tahun 86-96 H) memerintahkan Khalid bin al-Khayyaj yang terkenal keindahan tulisannya untuk menulis mushaf al-Quran.[28]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Terdapat tiga priode dalam penulisan dan pengumpulan naskah al-Quran yang sangat terkenal dikalangan kaum muslimin. Dimulai dari priode Rasulullah saw sendiri yang berupa penulisan dan pengumpulan pada media tulis namun masih bertebaran, dilanjutkan pada priode Khalifah Abu Bakar yang berhasil mengumpulkan suhuf menjadi mushaf dengan tetap mempertahankan tujuh dialek yang diterima dari Rasulullah, dan kembali dilanjutkan oleh khalifah Utsman bin Affan yang berhasil mempersempit dialek al-Quran menjadi satu dialek bangsa Quraisy.
       Setelah priode kodifikasi yang paling dikenal ini, masih ada beberapa bentuk kodifikasi namun lebih pada penyempurnaan mushaf Utsman yang ada.

B.     Saran-saran
Kami menghimbau kepada para pembaca khususnya dan seluruh umat Islam untuk mempelajari al-Quran, baik dari segi turunnya, sejarah pembukuannya, maupun pemahaman dan artinya. Karena pada zaman yang modern ini banyak non-Muslim yang berusaha mencemarkan Islam. Jadi kita sebagai umat Islam harus mempelajarinya agar kita tidak mudah dibohongi dan bisa menjaga keorisinalan al-Quran dari mereka yang ingin merubahnya.









[1] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqolani, Fathul Bari, Darul Manfaah, h. 4
[2] Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Pengantar Ulumul Quran, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012, h.74
[3] Diantaranya: Saad Bin Abi Waqosh, Muaiqib Ibn Abi Fatimah, Yazid Bin Abu Sufyan, Khalid Bin Walid, A’la Ibn Hadlrami, Huwailib Ibn Abd Uzza Al-Amiri, Amir Ibn Fuhairoh, Abban Bin Sa’id, Zubair Ibn ‘Awwam.
[4] Dra. Liliek Channa AW dan Drs. H. Syaiful Hidayat, Ulum Al-Quran dan Pembelajaranya, Surabaya: Kopertais IV Press, 2013, h.20
[5] Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), Yogyakarta: Titian Ilahi Press, h.111
[6] Muhammad Ali, Quran Suci, Teks Arab, Terjemah Dan Tafsirnya, Jakarta: Dar Kutubul Islamiyah
[7] Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Pengantar Ulumul Quran, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012, h.75
[8] Muhammad Husain Haikal, As-Shidiq Abu Bakr, Kairo: Dar Al-Maarif, h.341
[9] Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), Yogyakarta: Titian Ilahi Press, h.115
[10] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqolani, Fathul Bari, Darul Manfaah, h. 18
[11] Pendapat Ibnu Hajar mengenai dua saksi disini tidak harus keduanya dalam bentuk hafalan atau keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu dapat diterima bila ayat yang disodorkannya didukung dua hafalan dan atau dua tulisan sahabat lainnya. Demikian juga, suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa sahabat tertentu dapat diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan sahabat lainnya.
[12] Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), Yogyakarta: Titian Ilahi Press, h 117
[13] Ada sebuah riwayat hadits diriwayatkan Al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i, At-Tumudzi, Ahmad, Dan Ibn Jarir yang menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, “sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (sab’at ahruf), maka, pilihlah satu darinya.” Yang dimaksud dengan huruf pada riwayat tersebut telah menimbulkan beragam pendapat di kalangan para ulama. Salah satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan huruf ini adalah dialek.
[14] Dengan bacaan Sahabat Ubay bin Ka’ab.
[15] Dengan bacaan Sahabat Abdullah bin Mas’ud.
[16] Bunyi Hadits mengenai hal ini adalah: Hudzaifah datang menemui Khalifah Utsman yang sudah dikagetkan oleh perbedaan cara membaca al-Quran. Hudzaifah melaporkan kepada Utsman, “wahai amirul mukminin, buatlah kebijakan untuk umat ini sebelum mereka berselisih mengenai al-Quran sebagaimana orang-orang yahudi terhadap kitab sucinya.” (Fadhail al-Quran, bab II dan III hlm. 99)
[17] Dra. Liliek Channa AW dan Drs. H. Syaiful Hidayat, Ulum Al-Quran dan Pembelajaranya, Surabaya: Kopertais IV Press, 2013, h.25
[18] Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), Yogyakarta: Titian Ilahi Press, h.122
[19] Dialek Quraisy, karena sesungguhnya al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka.
[20] Diantaranya; Zaid bin Thabit di Madinah, Abdullah bin as-Sa’ib di Mekah, Muqirah bin Shihab di Syam, Abu Abdurrahman as-Sulami di Kufah, dan Amir bin Abd. Qa’is di Basrah.
[21] Ibid, h.127
[22] Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqolani, Fathul Bari, Darul Manfaah, h.392
[23] Dra. Liliek Channa AW dan Drs. H. Syaiful Hidayat, Ulum Al-Quran dan Pembelajaranya, Surabaya: Kopertais IV Press, 2013, h.25
[24] Dr. Fahd bin Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), Yogyakarta: Titian Ilahi Press, h.125
[25] Riwayat yang tidak sampai pada derajat mutawatir.
[26] Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Pengantar Ulumul Quran, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012, h.80
[27] Dra. Liliek Channa AW dan Drs. H. Syaiful Hidayat, Ulum Al-Quran dan Pembelajaranya, Surabaya: Kopertais IV Press, 2013, h.25
[28] Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Pengantar Ulumul Quran, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012, h.81

No comments:

Post a Comment