Makalah
Sebagai Tugas Mata Kuliah Ulumul Quran
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Penulis:
Hoirul Anam - 01035
M. Khalilurrahman - 01036
Moh. Fahrur Rosi - 01037
Hadari - 01038
PAMEKASAN
2017
Kata Pengantar
بسم الله الرحمن الرحيم
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
Makalah Mata Kuliah Ulumul Quran program studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
dibawah bimbingan Dosen Pengampu: H. Taufiqurrahman, Lc, M.Th.I dengan judul: Sejarah
Kodifikasi Al-Quran.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempurna, untuk itu, kami mohon maaf apabila terdapat
banyak kesalahan. Kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para
penulis dan pembaca lainnya.
Kelompok IV:
Hoirul Anam
M. Khalilurrahman
Moh. Fahrur Rosi
Hadari
Daftar Isi
Halaman Sampul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan Penulisan
D.
Penegasan Judul
BAB II
Pembahasan
A.
Sejarah Kodifikasi al-Quran
B.
Priode-priode Kodifikasi al-Quran
C.
Perbedaan Priode Kodifikasi al-Quran
D.
Penulisan al-Quran Setelah Masa Khalifah
BAB III Penutup
A.
Kesimpulan
B.
Saran-saran
Catatan Kaki
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Al-Quran adalah merupakan petunjuk dan rahmat bagi umat seluruh
alam, serta mampu membimbing umat Islam kapanpun dan dimanapun. Al-Quran adalah
mu’jizat yang abadi, dan kemu’jizatannya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu
pengetahuan. Al-Quran diturunkan Allah swt. kepada rasulnya Muhammad saw. untuk
mengeluarkan manusia dari alam kejahiliyaan menuju alam keilmuan serta
membimbing pada jalan yang lurus.
Untuk
pertama kalinya al-Quran dicetak dalam bentuk mushaf di Bunduqiyah pada tahun
1530 M, tetapi begitu keluar, penguasa gereja mengeluarkan perintah pemusnahan
kitab suci agama Islam ini. Cetakan selanjutnya adalah atas usaha seorang Jerman
bernama Hinkelman pada tahun 1694 M. di Hamburg (Jerman). Disusul kemudian oleh
Marracci pada tahun 1698 M. di Padoue. Sayangnya, tidak satupun dari al-Quran
cetakan pertama, kedua, maupun ketiga yang tersisa dalam dunia Islam. Dan
sayangnya pula, perintis penerbitan al-Quran pertama itu dari kalangan
non-Muslim.
Penerbitan
al-Quran dengan label Islam baru dimulai pada tahun 1787 M. Yang menerbitkannya
adalah Maulaya Utsman. Mushaf cetakan itu lahir di Saint Petersbourh, Rusia,
atau Leningrad, Uni Soviet sekarang. Lahir lagi kemudian mushaf cetakan di
Kazan. Kemudian terbit lagi di Iran. Tahun 1248 H/1828 M, negeri Persia ini
menerbitkan mushaf cetakan di Kota Teheran. Lima tahun kemudian, yakni tahun
1833, terbit lagi cetakan di Tabriz. Setelah dua kali diterbitkan di Iran,
setahun kemudian (1834) terbit lagi mushaf cetakan di Leipzig, Jerman.
Di
negara Arab, Raja Fuad dari Mesir membentuk panitia khusus penerbitan al-Quran
diperempatan pertama abad 20. Panitia yang dimotori para syeikh Al-Azhar ini
pada tahun 1342 H/1923 M berhasil menerbitkan mushaf al-Quran cetakan yang
bagus. Mushaf yang pertama terbit di negara Arab ini dicetak sesuai riwayat
Hafs atas riwayat Ashim. Sejak itu berjuta-juta mushaf dicetak di Mesir di
berbagai Negara.
Tulisan
al-Quran mengandung rahasia dan makna tertentu yang akal tidak bisa
menjangkaunya. Mu’jizat al-Quran tidak hanya terletak pada arti atau maknanya,
akan tetapi juga terdapat pada susunan perkataan dan bentuk huruf ejaan. Kalau
bentuk tulisan dirubah, maka menjadi hilanglah kemu’jizatannya, seperti,
bagaimana akal bisa menalar penambahan alif pada lafadz مائة dan tidak pada lafadz فئة begitu juga menambah alif pada lafadz سعوا surah al-Hajj:51 dan menguranginya pada lafadz سعو as-Saba’:5 dan banyak lainnya. Mengapa kalimatnya sama akan
tetapi disini hurufnya ditiadakan dan pada lainnya ditetapkan?
Ulama
mengatakan bahwa sebenarnya itu semua adalah rahasia dari tuhan dan tujuan dari
Nabi, tulisan al-Quran dan hurufnya adalah sama halnya dengan huruf-huruf
potongan yang terdapat pada fawatihus suwar, tidak ada
manusia yang mengerti maksud rahasianya.
Dengan
adanya latar belakang ini, penulis mengangkat judul SEJARAH KODIFIKASI AL-QURAN
agar tidak meluasnya rumusan masalah yang akan dibahas.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sejarah kodifikasi al-Quran?
2. Bagaimana priode-priode
kodifikasi al-Quran?
3. Bagaimana
perbedaan priode kodifikasi al-Quran?
4. Bagaimana penulisan
al-Quran setelah masa Khalifah?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui sejarah kodifikasi al-Quran.
2. Untuk
mengetahui priode-priode kodifikasi al-Quran.
3. Untuk
mengetahui perbedaan priode kodifikasi al-Quran.
4. Untuk
mengetahui penulisan al-Quran setelah masa Khalifah.
D.
Penegasan Judul
1.
Sejarah; kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi di masa
lampau.
2.
Kodifikasi; pembukuan atau pengumpulan.
3.
Al-Quran: kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
melalui proses wahyu.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Kodifikasi al-Quran
Al-Quran pada zaman Nabi Muhammad saw. belum dibukukan dalam satu
mushaf, karena al-Quran itu diturunkan dengan berangsur-angsur sampai dua puluh
tahun lamanya atau lebih, dan karena sebagian ayat-ayatnya ada yang di nasakh
(diganti, tidak terpakai). Walau pun begitu, al-Quran pada zaman beliau
betul-betul terpelihara dengan sempurna, karena disamping beliau menganjurkan
para sahabat untuk menghafalkan, beliau juga mempunyai beberapa juru tulis
wahyu (kuttabul wahyi) yang dihadapan beliau mereka menulis, dengan
perintah dan ikrarnya.
Para kuttabul wahyi ini adalah orang-orang yang terkenal
tinggi amanahnya, sempurna agamanya, unggul akal dan ketelitiannya dan
disamping itu mereka juga pandai pada bidang tulis-menulis. Yang masyhur
diantara mereka adalah:[1] Abu
Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib,
Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu Sufyan, Ibn Said bin ‘Asy bin Ummihi, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Thabit, Shurohbil bin Hasanah, Abdullan ibn Rowahah, Amr bin
‘Asy, Abdullah ibn Arqom az-Zuhri, dan Handhallah ibn Robi’ al-Asadi.
Umat Islam dan para ulama’nya telah sepakat bahwa sahabat tidaklah
menulis kecuali apa yang telah didengar pasti dari Rasulullah saw, disamping Rasulullah
sendiri juga melarang menulis selain al-Quran. Sebagaimana yang telah diriwayatkan
oleh Muslim, “janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali al-Quran.
Barang siapa telah menulis dariku selain al-Quran, hendaklah ia menghapusnya.”[2]
B.
Priode-priode Kodifikasi al-Quran
Ada tiga priode pengumpulan al-Quran sejak zaman Rasulullah saw,
yaitu: (1) priode Rasulullah saw, (2) priode Khalifah Abu Bakar As-Shidiq, dan
(3) priode Khalifah Utsman Bin Affan.
1.
Priode Rasulullah saw
Al-Quran selain dihafal
dan difahami isinya juga ditulis sewaktu Rasulullah masih hidup. Jumlah sahabat
yang telah menulis al-Quran tidak kurang dari 43 orang.[3]
Namun yang paling sering bersama Rasulullah dan banyak menuliskan ayat-ayat al-Quran
yang diturunkan di Madinah (ayat Madaniyah) adalah Zaid bin Thabit, karena
memang dialah sekretaris wahyu pribadi Rasulullah,
maka ia selalu mendampingi beliau dimanapun berada. Nabi muhammad akan menunjuk
yang lainnya jika Zaid berhalangan. [4]
Perhatian Rasulullah terhadap
penulisan al-Quran tidak hanya setelah beliau hijrah ke madinah, tetapi juga
selahi beliau masih berada di mekah, meskipun pada waktu itu jumlah kaum muslim
masih sedikit dan sarana untuk penulisan masih langka serta kesempatan untuk
menuliskan ayat-ayat al-Quran masih terbatas. Proses penulisan pada masa Rasulullah
sangatlah sederhana. Mereka menggunakan alat tulis berupa al-‘usb (pelepah
kurma), al-likhaf (batu-batu yang tipis), ar-riqa’ (potongan dari
kulit kayu atau dedaunan), al-karanif (kumpulan pelepah kurma yang
lebar), al-aqtab (kayu yang diletakkan dipunggung unta sebagai alas
untuk ditunggangi, pakapah (madura, red)), aktaf (tulang kambing
atau tulang unta yang lebar).[5]
Kemudian disimpan di rumah Rasulullah dalam keadaan masih terpencar
ayat-ayatnya dan belum dihimpun dalam suatu mushaf atau masih menjadi suhuf al-Quran.
Pada zaman Rasulullah saw,
ayat-ayat yang terpisah turunnya telah tersusun dan terkumpulkan dalam suratnya
masing-masing dengan isyarat dan petunjuk dari Rasulullah, setiap turun sesuatu
dari al-Quran Rasulullah menyuruh para sahabat menuliskannya dan meletakkan
dalam surat tertentu dan ayat tertentu. Jadi pada zaman Rasulullah al-Quran
telah tersusun semua urutannya seperti sekarang, baik dalam lafalnya ataupun
tulisannya, hanya belum terkumpul menjadi satu buku (mushaf) bahkan masih
terpisah-pisah.
Suhuf al-Quran yang
disimpan di rumah Rasulullah dan diperkuat dengan naskah-naskah al-Quran yang
dibuat oleh para penulis wahyu untuk pribadi masing-masing serta ditunjang oleh
hafalan para sahabat hafidz al-Quran yang tidak sedikit jumlahnya, maka
semua itu dapat menjamin al-Quran tetap terpelihara secara lengkap dan murni
(original), sesuai dengan janji Allah swt. dalam surah al-Hijr: 9 yang artinya:
“sesunguhnya aku telah menurunkan peringatan (al-Quran) dan
sesungguhnya aku telah memeliharanya/mengamankannya.”[6]
2.
Priode Khalifah Abu Bakar As-Shidiq
Setelah Rasulullah wafat,
sahabat Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, terjadilah gerakan pembangkangan
membayar zakat bahkan ada yang keluar dari agama Islam (murtad) dibawah
pimpinan seorang yang mengaku nabi Musailimkah al-Kaddzab.[7]
Untuk menghadapi ini, Khalifah Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid untuk
memburu mereka hingga terjadilah perang Yamamah, pada tahun 12 H, yang
menewaskan sekitar sembilan ratus tujuh sahabat termasuk tujuh ratus huffadzil
qur’an. Dengan banyaknya huffadz yang terbunuh, dikhawatirkan
kelestarian al-Quran banyak yang hilang. Maka sayyidina Umar bin Khattab meminta
kepada Khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Quran dari berbagai sumber
menjadi satu mushaf, baik yang tersimpan didalam hafalan maupun tulisan. Dan
ditunjuklah sahabat Zaid bin Thabit selaku sekretaris al-Quran pada masa Rasulullah
menjadi ketua lajnah atau panitia.[8]
Sebab-sebab dipilihnya Zaid dalam tugas pengumpulan al-Quran,
antara lain:[9]
a.
Zaid termasuk hafidz al-Quran.
b.
Zaid termasuk penulis wahyu untuk Rasulullah.
c.
Zaid adalah seorang yang cerdas, wara’ berakhlak mulia, teguh pada
agama dan menjunjung tinggi amanat.
Zaid sangat berhati-hati
dalam menjalankan tugas ini, sekalipun ia seorang penulis wahyu yang utama dan
hafal seluruh al-Quran. Ia dalam menjalankan tugasnya berpegang teguh pada
beberapa hal, yaitu:
1)
Ayat-ayat yang ditulis dihadapan Rasulullah dan disimpan dirumah
beliau.
2)
Ayat-ayat yang dihafalkan oleh para sahabat yang hafidz al-Quran.[10]
3)
Tidak menerima sesuatu dari yang ditulis sebelum disaksikan
(disetujui) oleh dua orang saksi[11],
bahwa ia pernah ditulis dihadapan Rasulullah.[12]
Tugas menghimpun al-Quran
itu dapat dilaksanakan oleh Zaid dalam waktu kurang dari 1 tahun, yakni antara
setelah terjadinya perang Yamamah dan sebelum wafat Abu Bakar. Dengan demikian
tercatatlah dalam sejarah bahwa Abu Bakar sebagai orang yang pertama-tama
menghimpun al-Quran dalam mushaf, Umar sebagai orang yang pertama-tama
mempunyai ide menghimpun al-Quran dan Zaid sebagai orang yang pertama-tama
melaksanakan penulisan al-Quran dalam satu mushaf.
Pengumpulan pada masa Khalifah
Abu Bakar berhasil dengan kesepakatan para sahabat terhadap keshahihan dan
penelitiannya, serta mereka sepakat atas tidak adanya tambahan dan pengurangan.
Mereka menerimanya secara sungguh-sungguh sampai berperan aktif terhadap apa
yang memang dibutuhkan.
Mushaf karya Zaid yang
telah dibukukan kemudian disimpan oleh Abu Bakar, setelah kematian beliau
selanjutnya disimpan oleh sayyidina Umar, dan setelahnya disimpan di rumah
sayyidatina Hafsah binti Umar atas pesan Umar dengan pertimbangan, bahwa Hafsah
adalah istri Rasulullah yang juga penghafal al-Quran dan pandai baca tulis.
Disamping itu, masalah Khalifah pengganti Umar masih harus dimusyawarahkan
terlebih dahulu, jadi Utsman belum ditentukan sebagai Khalifah pada waktu itu.
3.
Priode Khalifah Utsman Bin Affan
Ketika pembebasan Islam terhadap
wilayah-wilayah lain semakin meluas, para sahabat Rasulullah menyebar ke
berbagai wilayah tersebut. Mereka mengajarkan al-Quran kepada para penduduk,
juga masalah keagamaan. Setiap sahabat mengajarakan al-Quran dengan tujuh
dialek[13] (qiroah sab’ah) yang diterima (dari Rasulullah)
sesuai dengan siapa yang mengajarkan di wilayah tersebut.
Dikisahkan bahwa ketika
pengiriman ekspedisi militer ka Armenia dan Azerbaijan, perselisihan tentang
bacaan al-Quran muncul di kalangan tentara-tentara muslim, yang sebagiannya
direkrut dari Syiria (Syam)[14]
dan sebagian lagi dari Irak[15].
Perselisihan ini cukup serius bahkan sebagian pada sebagian lainnya saling
mengkafirkan. Tidak ingin masalah larut, Hudzaifah al-Yamani melaporkannya
kepada Khalifah Utsman dan mendesak beliau agar mengambil langkah pengumpulan al-Quran
kembali.[16]
Khalifah Utsman kemudian membentuk panitia yang terdiri dari empat orang, yakni
Zaid bin Thabit, bersama tiga anggota keluarga Mekah terpandang (suku Quraisy),
Sa’id Bin Al-‘Ash, Abdullah Bin Zubair Dan Abdurrahman Bin Al-Harits. Panitia
ini diketuai Zaid dan bertugas menyalin suhuf al-Quran yang disimpan oleh Hafsah,
sebab suhuf Hafsah itulah yang dipandang sebagai suhuf standard.[17]
Setelah terjadi
kesepakatan antara Khalifah Utsman dengan para sahabat tentang pengumpulan al-Quran
dengan satu dialek satu metode dan cara yang bersih, maka Utsman sepakat
terhadap terbebasnya al-Quran dari persoalan dialek dan terhadap kedalaman dan
ketetapannya. Hal yang dilakukan Khalifah Utsman untuk pembukuan al-Quran kali
ini adalah dengan:[18]
1)
Utsman meminta Hafsah untuk mengirimkan mushaf yang ada padanya,
agar disalin kedalam mushaf-mushaf lalu dikembalikan.
2)
Mushaf salinan tersebut disyahkan kepada Zaid dan ketiga sahabat
yang lain, dan telah disatukan pada satu dialek.[19]
3)
Jika dalam satu-ayat berturut-turut (mengandung) lebih dari satu
bacaan, maka ayat tersebut ditulis bersih dari tanda-tanda apapun yang memotong
atau memendekkan ucapan atas satu bacaan.
Setelah panitia Zaid
berhasil melaksanakan tugasnya, suatu naskah otoritatif (absah) al-Quran , yang
sering juga disebut mushaf Utsmani, telah ditetapkan. Utsman menyebarkan
salinan tersebut ke seluruh wilayah Islam. Utsman juga menyertakan seorang
pendamping mushaf[20],
yakni orang yang bacaannya valid,[21]
disertai intruksi bahwa semua mushaf yang berbeda dengan mushaf Utsmani yang
terkirim harus dimusnahkan atau dibakar.[22]
Alhamdulillah, hampir semua umat Islam termasuk para sahabat Rasulullah menyambut
dengan baik dan mematuhi intruksi Khalifah dengan senang hati.[23]
Dan setiap bulan Ramadhan Zaid berada di madinah, melakukan pemeriksaan
terhadap mushaf. Orang-orang pun menyerahkan mushafnya kepada Zaid agar diperiksa.[24]
Khalifah Utsman sendiri
memutuskan agar mushaf-mushaf yang beredar harus memenuhi persyaratan berikut:
a.
Terbukti mutawatir, tidak ditulis berdasarkan riwayat ahad.[25]
b.
Mengabaikan ayat yang bacaannya di nasikh dan ayat tersebut tidak
diyakini dibaca kembali di hadapan Rasulullah pada saat terakhir.
c.
Kronologis surat dan ayat yang dikenal sekarang ini, berbeda dengan
mushaf Abu Bakar yang susunan suratnya berbeda dengan mushaf Utsmani.
d.
Sistem penulisan yang digunakan mampu mencakup qiraat yang berbeda
sesuai dengan lafadz-lafadz al-Quran ketika turun.
e.
Semua yang bukan termasuk al-Quran dihilangkan.[26]
Marwan bin
al-Hakam seorang khalifah dari dinasti Umayyah (w. 65 H) pernah meminta Hafsah
agar suhufnya itu dibakar, tetapi ditolak oleh Hafsah. Baru setelah Hafsah
wafat, suhufnya diambil oleh Marwan dan dibakarnya. Tindakan Marwan ini
terpaksa dilakukan, demi untuk mengamankan keseragaman mushaf al-Quran yang
telah diusahakan oleh Khalifah Utsman dengan menyalin seluruh isi suhuf Hafsah
ke dalam mushaf Utsman, dan lagi untuk menghindarkan keragu-raguan umat Islam
di masa yang akan datang terhadap mushaf al-Quran jika masih terdapat dua
naskah (suhuf Hafsah dan mushaf Utsman).[27]
C.
Perbedaan Priode Kodifikasi Al-Quran
Perbedaan “pengumpulan” secara lahir adalah pada pengumpulan al-Quran
priode Abu Bakar yang pada saat itu tulisan al-Quran masih terpisah-pisah, lalu
Abu Bakar memerintahkan untuk mengumpulkannya. Dengan demikian, maka pengertian
“pengumpulan” tidak memerlukan perbedaan antara masa Rasulullah saw. dengan
masa Abu Bakar. Akan tetapi permasalahan dan kesamaran terdapat pada “dua
pengumpulan”, yakni pada priode kedua (Abu Bakar) dan pada priode ketiga (Utsman).
Sesungguhnya para ulama mengambil perbedaan –antara pengumpulan
pada priode Abu Bakar dan priode Utsman– sebagai partisipasi mereka untuk
menghilangkan kesamaran dalam pengumpulan al-Quran itu sendiri, sehingga dengan
sendirinya terungkap adanya beberapa perbedaan:
a.
Priode Khalifah Abu Bakar;
1)
Motivasi penulisannya adalah adanya kekhawatiran akan hilangnya al-Quran
bersamaan degan hilangnya para penghafalnya.
2)
Dilakukan dengan mengumpulkan tulisan-tulisan al-Quran yang
terpencar-pencar pada pelepah kurma, kulit, tulang dan sebagainya.
3)
Tetap memberlakukan tujuh qiraat (yang berarti keragaman
tulisan/bacaan).
4)
Pengumpulan hanya berdasar pada urutan ayat.
b.
Priode Khalifah Utsman
1)
Motivasi penulisannya karena terjadinya banyak perselisihan di
dalam cara membaca al-Quran (qiraat).
2)
Memberlakukan satu qiraat (yang berarti keseragaman
tulisan/bacaan).
3)
Pengumpulan berdasar pada urutan ayat dan surat.
D.
Penulisan al-Quran Setelah Masa Khalifah
Mushaf yang ditulis atas perintah Khalifah Utsman tidak memiliki
harkat dan tanpa titik sehingga dapat dibaca dengan salah satu qiraat yang
tujuh. Setelah banyaknya orang non-Arab memeluk Islam, mereka merasa kesulitan
membaca mushaf yang tidak berharkat dan bertitik itu. Pada masa Khalifah Abdul
Malik (685-705), ketidak memadainya mushaf ini telah dimaklumi para sarjana
muslim terkemuka saat itu. Oleh karena itu penyempurnaan pun segera dilakukan.
Tersebutlah dua tokoh yang berjasa dalam hal ini, yaitu Ubaidillah bin Ziyad
(w. 67 H) yang diberitakan memerintahkan seorang lelaki dari Persia untuk
meletakkan alif sebagai pengganti dari huruf yang dibuang, dan Hajjaj bin Yusuf
al-Tsaqofi (w. 95 H) yang melakukan penyempurnaan terhadap mushaf Utsmani pada
sebelas tempat yang memudahkan membaca mushaf.
Upaya penyempurnaan itu tidak berlangsung sekaligus, tetapi
bertahap dan dilakukan oleh setiap generasi sampai abad 3 H (atau akhir abad 9
M) ketika proses penyempurnaan naskah mushaf Utsmani selesai dilakukan.
Tercatat pula tiga nama yang disebut-sebut sebagai orang yang pertama kali
meletakkan tanda titik pada mushaf Utsmani, ketiga orang itu adalah Abu
al-Aswad ad-Du’ali, Yahya bin Ya’mar (45-129 H) dan Nashr bin Ashim al-Laits
(w. 89 H). Adapun orang yang disebut-sebut pertama kali meletakkan hamzah,
tasydid adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Azdi yang diberi kun-yah
Abu Abdirrahman (w. 175 H).
Upaya penulisan al-Quran yang bagus merupakan upaya lain yang telah
dilakukan generasi terdahulu. Diberitakan bahwa Khalifah al-Walid (memerintah
dari tahun 86-96 H) memerintahkan Khalid bin al-Khayyaj yang terkenal keindahan
tulisannya untuk menulis mushaf al-Quran.[28]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Terdapat tiga priode dalam penulisan dan pengumpulan naskah al-Quran
yang sangat terkenal dikalangan kaum muslimin. Dimulai dari priode Rasulullah
saw sendiri yang berupa penulisan dan pengumpulan pada media tulis namun masih
bertebaran, dilanjutkan pada priode Khalifah Abu Bakar yang berhasil
mengumpulkan suhuf menjadi mushaf dengan tetap mempertahankan tujuh dialek yang
diterima dari Rasulullah, dan kembali dilanjutkan oleh khalifah Utsman bin
Affan yang berhasil mempersempit dialek al-Quran menjadi satu dialek bangsa
Quraisy.
Setelah priode
kodifikasi yang paling dikenal ini, masih ada beberapa bentuk kodifikasi namun
lebih pada penyempurnaan mushaf Utsman yang ada.
B.
Saran-saran
Kami menghimbau kepada para pembaca khususnya dan seluruh umat Islam
untuk mempelajari al-Quran, baik dari segi turunnya, sejarah pembukuannya, maupun
pemahaman dan artinya. Karena pada zaman yang modern ini banyak non-Muslim yang
berusaha mencemarkan Islam. Jadi kita sebagai umat Islam harus mempelajarinya
agar kita tidak mudah dibohongi dan bisa menjaga keorisinalan al-Quran dari
mereka yang ingin merubahnya.
[1] Ahmad ibn Ali
ibn Hajar al-Asqolani, Fathul Bari, Darul Manfaah, h. 4
[2] Prof. Dr. H.
Rosihon Anwar, M.Ag., Pengantar Ulumul Quran, Bandung: CV Pustaka Setia,
2012, h.74
[3] Diantaranya:
Saad Bin Abi Waqosh, Muaiqib Ibn Abi Fatimah, Yazid Bin Abu Sufyan, Khalid Bin
Walid, A’la Ibn Hadlrami, Huwailib Ibn Abd Uzza Al-Amiri, Amir Ibn Fuhairoh,
Abban Bin Sa’id, Zubair Ibn ‘Awwam.
[4] Dra. Liliek Channa
AW dan Drs. H. Syaiful Hidayat, Ulum Al-Quran dan Pembelajaranya, Surabaya:
Kopertais IV Press, 2013, h.20
[5] Dr. Fahd bin
Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, h.111
[6] Muhammad Ali, Quran
Suci, Teks Arab, Terjemah Dan Tafsirnya, Jakarta: Dar Kutubul Islamiyah
[7] Prof. Dr. H.
Rosihon Anwar, M.Ag., Pengantar Ulumul Quran, Bandung: CV Pustaka Setia,
2012, h.75
[8] Muhammad
Husain Haikal, As-Shidiq Abu Bakr, Kairo: Dar Al-Maarif, h.341
[9] Dr. Fahd bin
Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, h.115
[10] Ahmad ibn Ali
ibn Hajar al-Asqolani, Fathul Bari, Darul Manfaah, h. 18
[11] Pendapat Ibnu
Hajar mengenai dua saksi disini tidak harus keduanya dalam bentuk hafalan atau
keduanya dalam bentuk tulisan. Sahabat tertentu yang membawa ayat tertentu dapat
diterima bila ayat yang disodorkannya didukung dua hafalan dan atau dua tulisan
sahabat lainnya. Demikian juga, suatu hafalan ayat tertentu yang dibawa sahabat
tertentu dapat diterima bila dikuatkan oleh dua catatan dan atau hafalan
sahabat lainnya.
[12] Dr. Fahd bin
Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, h 117
[13] Ada sebuah
riwayat hadits diriwayatkan Al-Bukhori, Muslim, Abu Dawud, An-Nasa’i,
At-Tumudzi, Ahmad, Dan Ibn Jarir yang menyatakan bahwa Rasulullah saw pernah
bersabda, “sesungguhnya al-Quran ini diturunkan dengan menggunakan tujuh
huruf (sab’at ahruf), maka, pilihlah satu darinya.” Yang dimaksud
dengan huruf pada riwayat tersebut telah menimbulkan beragam pendapat di
kalangan para ulama. Salah satu pendapat mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
huruf ini adalah dialek.
[14] Dengan bacaan Sahabat
Ubay bin Ka’ab.
[15] Dengan bacaan Sahabat
Abdullah bin Mas’ud.
[16] Bunyi Hadits mengenai
hal ini adalah: Hudzaifah datang menemui Khalifah Utsman yang sudah dikagetkan
oleh perbedaan cara membaca al-Quran. Hudzaifah melaporkan kepada Utsman, “wahai
amirul mukminin, buatlah kebijakan untuk umat ini sebelum mereka berselisih
mengenai al-Quran sebagaimana orang-orang yahudi terhadap kitab sucinya.” (Fadhail
al-Quran, bab II dan III hlm. 99)
[17] Dra. Liliek Channa
AW dan Drs. H. Syaiful Hidayat, Ulum Al-Quran dan Pembelajaranya, Surabaya:
Kopertais IV Press, 2013, h.25
[18] Dr. Fahd bin
Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, h.122
[19] Dialek
Quraisy, karena sesungguhnya al-Quran diturunkan dengan bahasa mereka.
[20] Diantaranya; Zaid
bin Thabit di Madinah, Abdullah bin as-Sa’ib di Mekah, Muqirah bin Shihab di
Syam, Abu Abdurrahman as-Sulami di Kufah, dan Amir bin Abd. Qa’is di Basrah.
[21] Ibid, h.127
[22] Ahmad ibn Ali
ibn Hajar al-Asqolani, Fathul Bari, Darul Manfaah, h.392
[23] Dra. Liliek Channa
AW dan Drs. H. Syaiful Hidayat, Ulum Al-Quran dan Pembelajaranya, Surabaya:
Kopertais IV Press, 2013, h.25
[24] Dr. Fahd bin
Abdurrahman ar-Rumi, Ulumul Quran: Studi Kompleksitas al-Quran (terj.), Yogyakarta:
Titian Ilahi Press, h.125
[25] Riwayat yang
tidak sampai pada derajat mutawatir.
[26] Prof. Dr. H.
Rosihon Anwar, M.Ag., Pengantar Ulumul Quran, Bandung: CV Pustaka Setia,
2012, h.80
[27] Dra. Liliek Channa AW dan Drs. H. Syaiful Hidayat, Ulum Al-Quran
dan Pembelajaranya, Surabaya: Kopertais IV Press, 2013, h.25
[28] Prof. Dr. H. Rosihon Anwar, M.Ag., Pengantar Ulumul Quran, Bandung:
CV Pustaka Setia, 2012, h.81
No comments:
Post a Comment