Tujuan
filsafat adalah memberikan Weltanschaung (filsafat hidup). Weltanschaung
mengajari manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang
mengikuti kebenaran, mempunyai ketenangan pikiran, kepuasan, kemantapan hati
kesadaran akan arti dan tujuan hidup, gairah rohanian keinsafan; setelah itu
mengaplikasikannya dalam bentuk topangan atas dunia baru, menuntun kepadanya,
mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan, berjiwa dan bersemangat universal, dan
sebagainya.
Agama
adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan, berupa ajaran tentang ketentuan,
kepercayaan, kepasrahan, dan pengamalan, yang diberikan kepada makhluk yang
berakal, demi keselamatan dan kesejahteraannya di dunia dan akhirat.Baik agama
maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang
sama, yakni mencapai kebenaran sejati. Agama yang dimaksud disini adalah agama
Samawi, yaitu agama yang diwahyukan Tuhan kepada nabi dan rasul-Nya.
Dibalik
persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam agama ada beberapa
hal yang amat penting, misalnya Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, surga dan
neraka, dan lain-lain. Hal tersebut diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena
hal-hal tersebut ada –atau paling tidak—mungkin ada; Objek filsafat. Mungkinkah
ada pertentangan antara agama dan filsafat? Pada dasarnya tidak, karena kalau
kedua-duanya memang mempunyai kebenaran, maka kebenaran itu satu, dan sudah
barang tentu sama. Tidak mungkin ada sesuatu yang pada prinsipnya benar, juga
tidak benar. Tegasnya bahwa lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal
mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Filsafat berdasarkan pikiran
belaka (akal). Agama berdasarkan wahyu Ilahi.
Akal
adalah salah satu potensi manusia yang berkesanggupan untuk mengerti dan
memahami sedikit tentang realitas kosmis kemudian mengolah dan merubah sebatas
kemampuan serta, menjelajah dunia rohaniah. Pemahaman dan penyelidikan akal
terbatas pada dunia yang tampak dan hasilnya tidak sanggup memberikan
kepastian. Karena itu, manusia harus berhenti dari aktivitas akalnya ketika
akal telah sampai pada kulminasinya dan berpindah pada keimanan ketika
berbicara tentang Tuhan, akhirat dan sesuatu yang berada di luar kemampuan
akal.
Seperti
dalam permasalahan Tuhan, para filosof (Yunani) memberikan beraneka ragam arti.
Aristoteles mengatakan Tuhan adalah neosis atau noeseoos, yaitu akal
yang tertinggi. Dalam filsafat Neoplatoisme, Tuhan berarti keesaan mutlak.
Descartes memaknakan Tuhan sebagai puncak dari rasionalisme. Hegel mengartikan
Tuhan dengan roh mutlak yang insaf akan diri sendiri.
Pemahaman
yang dapat diambil dari fenomena di atas adalah kenyataan bahwa jawaban
filsaafat adalah relatif dan tak satu pun yang mutlak sempurna. Jika suatu
masalah tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan, dan filsafat pun terdiam atau
memberikan jawaban dugaan, spekulasi, terkaan, sangkaan, dan perkiraan, maka
manusia berada dalam kebingungan. Sebagian mereka mengambil beberapa jalan,
yaitu atheisme (tidak mengakui adanya tuhan), anti-theis (mengakui
Tuhan tapi ingkar), non-theis (tidak ambil pusing tentang ada dan
tiadanya Tuhan) dan theis (mengakui adanya Tuhan tapi belum tentu
beragama).
Dalam
filsafat, untuk mendapatkan kebenaran hakiki, manusia harus mencarinya sendiri
dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan
batin. Akal memberi kebebasan kepada manusia untuk percaya dan tidak percaya
tengtang wujud Tuhan, tapi agama dan perasaan mewajibkan manusia untuk percaya
bahwa tuhan itu ada. Sedangkan dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran hakiki
itu manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan ia harus menerima hal-hal
yang diwahyukan Tuhan, dengan kata singkat percaya atau iman.
Penggunaan
akal tanpa diiringi keimanan pada agama dan kepercayaan pada keterbatasan akal
akan membuat manusia mempertuhankan akal dan terjerumus dalam jurang kesalahan.
Akal dapat berargumentasi tentang ada dan tiadanya Tuhan. Rasio dapat
menggambarkan Tuhan dengan berbagai corak, seperti pentheisme, politheisme,
monotheisme, dua-theisme,, tri-theisme dan lain-lain. Padahal, tuhan bukanlah
obyek pengenalan seperti benda-benda lain. Satu-satunya yang dapat mengerti
Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, manusia dapat mengenal tuhan hanya melalui
penjelasan Tuhan saja. Itulah satu-satunya sumber pengetahuan tentang Tuhan.
Penjelasan tuhan tentang dirinya bukanlah wilayah rasio manusia. Menusia, meskipun
berfikir tentang Tuhan dengan filsafat, pada akhirnya harus meyakini adanya
Allah melalui firman-Nya. Masalah ini tidak cukup dengan ilmu, akal dan bukti,
tapi harus dengan kepercayaan.
Abu
Yusuf Ya’kub al-Kindi (alkindus) mengajukan beberapa argumen untuk
mmbuktikan adanya Tuhan. Pertama, berdasarkan prinsip hukum sebab
akibat, semesta ini adalah terbatas dan tercipta dari ketiadaan (creatio ex
nihilo). Kedua, berdasarkan prinsip bahwa segala sesuatu tidak dapat
menjadi sebab atas dirinya sendiri, karena agar dapat menjadi sebab bagi
dirinya, sesuatu itu harus ada sebelum dirinya. Ketiga, berdasarkan
analogi antara alam macro-cosmos (semesta) dan micro-cosmos (manusia).
Dan keempat, didasarkan atas argumen teleologis (dalil al-inayah)
bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur, dan menakjubkan ini tidak mungkin
terjadi secara kebetulan melainkan karena adanya tujuan dan maksud tertentu,
sekaligus menunjukkan adanya Dzat Yang Maha Mengatur yang merupakan “pembangkit
dari semua pembangkit, yang pertama dari semua yang pertama, dan yang menjadi
sebab dari semua sebab.”
Menurut
Ibnu Khaldun, mempertimbangkan Tuhan, sifat-sifat Tuhan dengan akal ibarat
menimbang gunung dengan timbangan tukang emas. Ini bukan berarti timbangan itu
tidak dapat dipercaya. Kita percaya bahwa akal adalah timbangan yang cermat dan
dapat dipercaya. Akan tetapi akal mempunyai batas-batas kemampuan yang dengan
keras membatasinya.
Walaupun
antara kebenaran yang disajikan oleh agama serupa dengan kebenaran yang dicapai
oleh filsafat, tetapi tetap agama tidak bisa disamakan dengan filsafat.
Perbedaan ini disebabskan cara pandang yang berbeda. Di satu pihak agama
beralatkan kepercayaan, di lain pihak filsafat berdasarkan penelitian yang
menggunakan potensi manusiawi, dan meyakininya sebagaisatu-satunya alat ukur
kebenaran, yaitu akal manusia.
Dengan
keterbatasan akal manusia itu tidak berarti Tuhan dalam menciptakan manusia
bertujuan untuk kecelakaan, kebingungan dan kesengsaraan umat manusia.
Keterbatasan itu menunjukkan adanya Yang Maha Sempurna. Terhadap kebingungan
manusia dan problematika mereka yang tak terselesaikan, Tuhan memberikan jalan
pembebasan. Dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah berkenan menurunkan
wahyu-Nya kepada umat manusia sebagai petunjuk, cahaya, dan rahmat, agar mereka
menemukan kebenaran hakiki dan asasi yang tidak dapat dicapai sekedar dengan
akalnya, juga agar manusia mendapat jawaban yang pasti atas persoalan-persoalan
yang tak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan dan filsafat.
No comments:
Post a Comment