Saturday, October 20, 2018

Hubungan Filsafat Dengan Islam


          Tujuan filsafat adalah memberikan Weltanschaung (filsafat hidup). Weltanschaung mengajari manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang mengikuti kebenaran, mempunyai ketenangan pikiran, kepuasan, kemantapan hati kesadaran akan arti dan tujuan hidup, gairah rohanian keinsafan; setelah itu mengaplikasikannya dalam bentuk topangan atas dunia baru, menuntun kepadanya, mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan, berjiwa dan bersemangat universal, dan sebagainya.
Agama adalah sesuatu yang berasal dari Tuhan, berupa ajaran tentang ketentuan, kepercayaan, kepasrahan, dan pengamalan, yang diberikan kepada makhluk yang berakal, demi keselamatan dan kesejahteraannya di dunia dan akhirat.Baik agama maupun filsafat pada dasarnya mempunyai kesamaan, keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni mencapai kebenaran sejati. Agama yang dimaksud disini adalah agama Samawi, yaitu agama yang diwahyukan Tuhan kepada nabi dan rasul-Nya.
Dibalik persamaan itu terdapat pula perbedaan antara keduanya. Dalam agama ada beberapa hal yang amat penting, misalnya Tuhan, kebajikan, baik dan buruk, surga dan neraka, dan lain-lain. Hal tersebut diselidiki pula oleh filsafat. Oleh karena hal-hal tersebut ada –atau paling tidak—mungkin ada; Objek filsafat. Mungkinkah ada pertentangan antara agama dan filsafat? Pada dasarnya tidak, karena kalau kedua-duanya memang mempunyai kebenaran, maka kebenaran itu satu, dan sudah barang tentu sama. Tidak mungkin ada sesuatu yang pada prinsipnya benar, juga tidak benar. Tegasnya bahwa lapangan filsafat dan agama dalam beberapa hal mungkin sama, akan tetapi dasarnya amat berlainan. Filsafat berdasarkan pikiran belaka (akal). Agama berdasarkan wahyu Ilahi.
Akal adalah salah satu potensi manusia yang berkesanggupan untuk mengerti dan memahami sedikit tentang realitas kosmis kemudian mengolah dan merubah sebatas kemampuan serta, menjelajah dunia rohaniah. Pemahaman dan penyelidikan akal terbatas pada dunia yang tampak dan hasilnya tidak sanggup memberikan kepastian. Karena itu, manusia harus berhenti dari aktivitas akalnya ketika akal telah sampai pada kulminasinya dan berpindah pada keimanan ketika berbicara tentang Tuhan, akhirat dan sesuatu yang berada di luar kemampuan akal.
Seperti dalam permasalahan Tuhan, para filosof (Yunani) memberikan beraneka ragam arti. Aristoteles mengatakan Tuhan adalah neosis atau noeseoos, yaitu akal yang tertinggi. Dalam filsafat Neoplatoisme, Tuhan berarti keesaan mutlak. Descartes memaknakan Tuhan sebagai puncak dari rasionalisme. Hegel mengartikan Tuhan dengan roh mutlak yang insaf akan diri sendiri.
Pemahaman yang dapat diambil dari fenomena di atas adalah kenyataan bahwa jawaban filsaafat adalah relatif dan tak satu pun yang mutlak sempurna. Jika suatu masalah tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan, dan filsafat pun terdiam atau memberikan jawaban dugaan, spekulasi, terkaan, sangkaan, dan perkiraan, maka manusia berada dalam kebingungan. Sebagian mereka mengambil beberapa jalan, yaitu atheisme (tidak mengakui adanya tuhan), anti-theis (mengakui Tuhan tapi ingkar), non-theis (tidak ambil pusing tentang ada dan tiadanya Tuhan) dan theis (mengakui adanya Tuhan tapi belum tentu beragama).
Dalam filsafat, untuk mendapatkan kebenaran hakiki, manusia harus mencarinya sendiri dengan mempergunakan alat yang dimilikinya berupa segala potensi lahir dan batin. Akal memberi kebebasan kepada manusia untuk percaya dan tidak percaya tengtang wujud Tuhan, tapi agama dan perasaan mewajibkan manusia untuk percaya bahwa tuhan itu ada. Sedangkan dalam agama, untuk mendapatkan kebenaran hakiki itu manusia tidak hanya mencarinya sendiri, melainkan ia harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan, dengan kata singkat percaya atau iman.
Penggunaan akal tanpa diiringi keimanan pada agama dan kepercayaan pada keterbatasan akal akan membuat manusia mempertuhankan akal dan terjerumus dalam jurang kesalahan. Akal dapat berargumentasi tentang ada dan tiadanya Tuhan. Rasio dapat menggambarkan Tuhan dengan berbagai corak, seperti pentheisme, politheisme, monotheisme, dua-theisme,, tri-theisme dan lain-lain. Padahal, tuhan bukanlah obyek pengenalan seperti benda-benda lain. Satu-satunya yang dapat mengerti Tuhan adalah Tuhan itu sendiri, manusia dapat mengenal tuhan hanya melalui penjelasan Tuhan saja. Itulah satu-satunya sumber pengetahuan tentang Tuhan. Penjelasan tuhan tentang dirinya bukanlah wilayah rasio manusia. Menusia, meskipun berfikir tentang Tuhan dengan filsafat, pada akhirnya harus meyakini adanya Allah melalui firman-Nya. Masalah ini tidak cukup dengan ilmu, akal dan bukti, tapi harus dengan kepercayaan.
Abu Yusuf Ya’kub al-Kindi (alkindus) mengajukan beberapa argumen untuk mmbuktikan adanya Tuhan. Pertama, berdasarkan prinsip hukum sebab akibat, semesta ini adalah terbatas dan tercipta dari ketiadaan (creatio ex nihilo). Kedua, berdasarkan prinsip bahwa segala sesuatu tidak dapat menjadi sebab atas dirinya sendiri, karena agar dapat menjadi sebab bagi dirinya, sesuatu itu harus ada sebelum dirinya. Ketiga, berdasarkan analogi antara alam macro-cosmos (semesta) dan micro-cosmos (manusia). Dan keempat, didasarkan atas argumen teleologis (dalil al-inayah) bahwa semua gejala alam yang tertib, teratur, dan menakjubkan ini tidak mungkin terjadi secara kebetulan melainkan karena adanya tujuan dan maksud tertentu, sekaligus menunjukkan adanya Dzat Yang Maha Mengatur yang merupakan “pembangkit dari semua pembangkit, yang pertama dari semua yang pertama, dan yang menjadi sebab dari semua sebab.”
Menurut Ibnu Khaldun, mempertimbangkan Tuhan, sifat-sifat Tuhan dengan akal ibarat menimbang gunung dengan timbangan tukang emas. Ini bukan berarti timbangan itu tidak dapat dipercaya. Kita percaya bahwa akal adalah timbangan yang cermat dan dapat dipercaya. Akan tetapi akal mempunyai batas-batas kemampuan yang dengan keras membatasinya.
Walaupun antara kebenaran yang disajikan oleh agama serupa dengan kebenaran yang dicapai oleh filsafat, tetapi tetap agama tidak bisa disamakan dengan filsafat. Perbedaan ini disebabskan cara pandang yang berbeda. Di satu pihak agama beralatkan kepercayaan, di lain pihak filsafat berdasarkan penelitian yang menggunakan potensi manusiawi, dan meyakininya sebagaisatu-satunya alat ukur kebenaran, yaitu akal manusia.
         Dengan keterbatasan akal manusia itu tidak berarti Tuhan dalam menciptakan manusia bertujuan untuk kecelakaan, kebingungan dan kesengsaraan umat manusia. Keterbatasan itu menunjukkan adanya Yang Maha Sempurna. Terhadap kebingungan manusia dan problematika mereka yang tak terselesaikan, Tuhan memberikan jalan pembebasan. Dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, Allah berkenan menurunkan wahyu-Nya kepada umat manusia sebagai petunjuk, cahaya, dan rahmat, agar mereka menemukan kebenaran hakiki dan asasi yang tidak dapat dicapai sekedar dengan akalnya, juga agar manusia mendapat jawaban yang pasti atas persoalan-persoalan yang tak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan dan filsafat.

No comments:

Post a Comment