Oleh: *Tasaro GK*
(Penulis Novel Galaksi Kinanthi, Tetralogi
Muhammad, dan Pentalogi Nibiru)
Saya hanya menjahit cerita Sang Nabi, lalu
segala kebaikan datang tanpa berhenti.
Sembilan tahun lalu saya tidak pernah berpikir
ini akan terjadi. Bahkan, meski puncak istiqomah masih teramat jauh dan terjal
bukan main, rasa-rasanya, Allah tak berhenti membisiki kuping saya "Ayo,
anak Adam. Merangkaklah...jangan menyerah."
Empat hari terakhir, Allah seperti
"membisiki" saya satu kalimat, "Temui Aku di Bata-bata."
Saya menulis ini di atas kereta, pulang kepada
anak istri saya sembari berkaca-kaca. Betapa manusia mestinya cukup dengan
sapaan surat Ar Rahman saja alih-alih menggelisahkan surga atau neraka.
Setelah perjalanan ke Tanah Suci hampir setahun
lalu, saya teramat takut portal itu telah ditutup dan saya mesti mengumpulkan
segala kemungkinan untuk sowan ke rumah Tuhan, supaya saya bisa membincangi-Nya
seperti malam-malam syahdu di Nabawi dan Al Haram.
Rupanya tidak. Bumi Allah amat luas, sedangkan
saya terlalu meremehkan Tanah Air saya sendiri: Indonesia.
Bahwa, Allah "hadir" di sini,
"membincangi" manusianya setiap hari.
Setelah hampir satu dekade sejak kali pertama
novel "Lelaki Penggenggam Hujan" saya tuliskan, tak berhenti
kebaikan, majelis-majelis ilmu yang tak terbilang, saya datangi, saya resapi.
Lalu apa yang saya alami empat hari ini teramat
membahagiaan. Lalu saya membisiki diri saya sendiri, berulang kali"Saya
teramat bahagia menjadi seorang Muslim Indonesia."
Sebelum berangkat ke Timur Jawa, menyeberangi
jembatan Suramadu dan menjejak ke pulau legenda: Madura, saya sungguh tak tahu
apa-apa.
Madura adalah rumah Arya Wiraraja, memori
kanak-kanak saat saya mendengarkan sandiwara radio Tutur Tinular memberitahu
saya. Itu saja.
Sisanya adalah remang-remang di antara berita
sedih tentang tragedi, dan sayup cerita pulau Gili yang saya baca dalam novel
Lintang Sugianto.
Saya datang atas undangan sebuah pondok
pesantren yang sayup sampai saya dengar, selalu disebut sahabat hati saya, guru
saya yang selalu membuat saya yakin berislam amatlah mudah meski tak patut
dimudah-mudahkan : Bahaudin Amyasi. Dia adalah satu di antara sekian banyak
kerlip di dalam rumah besar bernama Keluarga T(j)inta.
Sejak dua tahun lalu, saya selalu mencarinya
sewaktu beragama, rasa-rasanya menyempitkan hati, menyesakkan dada.
Saya benar-benar merasakan itu. Ketika isu-isu
keislaman, belakangan, menjadi teramat sering memberatkan pikiran. Bukan
Islamnya, tapi bagaimana sebagian umat ini berhadap-hadapan, mengibarkan
bendera perbedaan, "menancapkan" Al Qur'an di ujung tombak,
menggemakan takbir, tapi kehilangan senyuman.
Saya teramat gelisah, terkenang Peristiwa Jamal
dan Siffin yang meluluhlantakkan.
Saya lebih sering takjub dengan isi kepala Cak
Baha dan bagaimana dia melisankannya.
Saya bertanya-tanya, tempat dia menempa dirinya,
semacam apa?
Dua tahun ini, Cak Baha bercerita tentang
Pesantren Bata-Bata yang bersahaja. Sebuah pesantren tradisional yang menjadi
rumah anak-anak Madura dan mereka yang datang dari tempat-tempat yang jauh.
Hampir satu dekade, novel Muhammad mengantar
saya ke puluhan pondok pesantren dari pangkal barat sampai ujung timur Jawa.
Meski rupa-rupa, saya selalu menemukan benang merah yang sama: rumah-rumah ilmu
ini tengah menyiapkan Indonesia.
Saya tak mengharap cerita berbeda di Bata-Bata.
Semangat besar saya hanya bertemu Cak Baha. Agar kami bisa meneguk kopi dan
tertawa-tawa membincangkan ilmu dan hikmah.
Lalu, setelahnya saya mengatakan ini "Saya
hanya menjahit cerita Sang Nabi, tapi hikmah seperti air bah yang hadir tak
henti-henti."
Saya hancur lebur di Bata-bata. Menjadi
remah-remah tak berguna. Menyaksikan, merasakan, meyakini segala teori, kerja
kecil saya, teramat tak ada apa-apanya dengan apa yang kemudian saya temui.
Saya tak menemukan seorang Cak Baha, tapi ribuan
Baha lain yang berpikir, tertawa, berkata, dengan hati mereka, dengan cinta
mereka.
Hari itu, dari Surabaya saya dijemput panitia
yang "memaksa" saya satu kendaraan dengan dua calon profesor UIN
Jogja: Dr. H. Abdul Mujib, M, Ag dan Dr. Ali Sadikin.
Mau apa pun spesialisasinya, sejak lama saya
selalu minder jika mesti berdekat-dekat dengan para cendekia, merasa cekak ilmu
dan pengetahuan. Namun, perjalanan empat jam menyeberang ke Madura begitu seru
dan penuh tawa. Melaluinya amat tak terasa.
Bermacam seloroh perihal budaya, politik,
spiritual, mengalir deras dan bebas. Mungkin dua orang kandidat guru besar yang
awet muda ini adalah para doktor paling menyenangkan yang pernah saya temui.
Sambil membahas spanduk calon kepala daerah,
KPK, sampai rumah makan Syahrini, saya menyerap sebanyak-banyaknya ilmu dari
kedua guru baru. Merasa mendapat bonus dari sebuah misi yang sederhana:
mengajar santri menulis novel lalu minum kopi bersama beberapa sahabat yang
lebih dulu tahu saya hendak mengunjungi pulau itu.
Bahkan, setelah kami sampai di Pontren Mambaul
Ulum Bata-Bata yang menjadi tujuan, saya masih tidak sadar benar apa yang
hendak saya hadapi.
Cak Baha yang mendampingi saya lalu
memperkenalkan kami dengan Cak Miftah, ketua panitia yang tentu adalah ustad
dan alumni pesantren ini. Para alumni, seperti Cak Baha adalah para cendekia
yang telah berkarya di luar Madura namun selalu terpanggil pulang ketika
almameter membutuhkan kehadiran mereka.
Para laki-laki yang semua bersarung dan
berkopiah, bersenyum merekah, mengira-ngiranya teramat susah: siapa yang
menjadi apa?
Tidak ada yang resmi diperkenalkan sebagai siapa
dan berperan di mana. Namun dari obrolan akrab penuh tawa saya segera tahu,
para lelaki bersarung ini punya macam-macam capaian yang menakjubkan. Beberapa
adalah lulusan sekolah master atau doktoral di Australia dan Eropa. Beberapa
yang lain adalah bagian dari tim-tim pembuat kebijakan di ibukota.
Lewat tengah malam saya baru berminat masuk
kamar dan tidur. Beberapa jam saja, karena menjelang subuh kami terbangun lalu
menyiapkan diri untuk hari pertama mengisi kelas "Ngaji Menulis" di
kelompok putra.
Ini hal biasa. Tidak ada yang istimewa. Bertahun-tahun
inilah yang saya lakukan.
Memotivasi anak-anak muda supaya mereka tak mati
dulu sebelum setidaknya sekali seumur hidup menuliskan sebuah buku.
Memberikan tips penulisan lewat permainan,
bersenda gurau dengan tujuan, mempraktikkan teori langsung ke dalam tulisan.
Menyenangkan, lebih-lebih bagaimana saya
menemukan santri-santri ini, memiliki ide-ide tak terduga di kepala mereka.
Sejak pagi sampai petang hari saya berada di
Pesantren Putra dimoderasi Cak Baha.
Sekembali kami ke paviliun tamu, hari itu yang
seharian saya menahan sakit perut gara-gara makan kepedasan, berusaha untuk
tidur.
Tapi gagal. Menjelang maghrib, Cak Baha
menghampiri saya yang tengah berupaya memejamkan mata. "Gus saya pengen
ngobrol, Bah."
Ya, saya tahu, siapa pun yang dipanggil
"Gus" dalam lingkungan pesantren amatlah dimuliakan. Saya tentu saja
menghormati tapi dengan pengertian-pengertian tertentu. Lahir, tumbuh, menua,
di luar pesantren sudah pasti menyulitkan saya untuk memahami, merasakan,
mempraktikkan rasa hormat yang identik dengan apa yang dipraktikkan mereka yang
berlatar belakang sebagai santri.
Saya menduga, awalnya, beliau yang kemudian saya
tahu disebut "Lora" (panggilan Gus khas Madura) adalah ulama langitan
yang biasa saya temui sebelum-sebelumnya.
Tapi tidak, ternyata.
Nama beliau Lora Thohir, salah seorang putra
Kiai pengasuh Pesantren Bata-Bata, yang bahkan usianya satu tahun lebih muda
dibanding saya.
Beliau menyalami saya lebih dulu dengan cara
yang biasa sedangkan para santri di ruangan itu berdiri dengan bahasa tubuhnya:
segan, hormat, cinta, penuh adab, menahan diri, kepada beliau.
Sementara Lora Thohir justru menyambut kami,
para tamunya dengan amat empatik dan tulus.
Kami kemudian duduk di sofa yang disusun kotak.
Beberapa alumni yang hebat-hebat itu memilh duduk timpuh di karpet permadani.
Kami, saya dan dua doktor rendah hati dari UIN
itu, lalu menyimak tuturan Ra Thohir yang runut dan jelas. Tapi kepada saya, Ra
Thohir memberi tugas tambahan. Beliau meminta saya membaca tulisannya di sebuah
alamat blogspot.
Tentu saya menyambutnya meski tanpa ekspektasi.
Saya sudah bertemu buuanyak orang-orang berkedudukan istimewa yang menulis
sekelompok kata lalu yakin betapa baik karyanya.
Jadi saya mulai membaca tulisan Ra Thohir dengan
pendekatan yang sama seperti pengalaman-pengalaman sebelumnya. Iya, bahwa
seorang tokoh yang menulis saja sudah luar biasa. Sehingga apa pun tulisannya
harus diapresiasi. Tapi biasanya tulisan itu akan mengalami beberapa problem
mendasar dalam tata bahasa tak keterbacaan.
Tapi, saya segera mengoreksi keterburu-buruan
saya.
Hanya dari paragraf pertama, saya segera
percaya, ulama di hadapan saya ini....beda.
Bahkan, tulisan yang sedang saya baca adalah
fiksi romansa. Saya seperti sedang membaca Buya Hamka.
Jenaka bahasanya namun bernas dan hidup. Bahkan
tokoh utama cerita ini seorang santri putri dan penulisnya amat...sangat
mengerti bagaimana psikologi seorang perempuan.
Bagimana tokohnya membatin, berpikir, jatuh
cinta, amat feminin. Sedangkan narasi ceritanya lunak, mudah dicerna, unik,
memancing tawa,
Kisah santri putri yang jatuh cinta kepada lora
di pesantren tempat dia belajar saya baca perlahan, dijeda oleh penjelasan Ra
Thohir yang mengajak kami mengenal Bata-Bata melalui lisannya.
Saya sendiri amat takjub dengan kisah fiksi itu
dan segera menemukan konteks akan segala hal. Bahkan jawaban mengapa Cak Baha
sebagai seorang santri, cara berpikirnya amat menyamankan.
Rupanya Sang Lora yang menjadi gurunya,
penuntunnya, pemimpinnya memiliki kedalaman pemahaman tanpa mencampakkan seni.
"Kami tidak pernah menolak santri, "
kata Ra Thohir menjeda pembacaan saya beberapa kali. Saya memang ingin
melakukan keduanya. Membaca habis fiksi romantis itu sekaligus menyimak
penjelasan Ra Thohir yang kian menarik.
"Santri kami hampir sepuluh ribu jumlahnya.
Mereka masuk tanpa seleksi, " lanjutnya.
Lalu berbagai angka dan fakta mengejut-ngejutkan
saya. Bahwa para santri yang memang sejak pagi saya lihat bersliweran dengan
jumlah ribuan di gang-gang pesantren, datang dari pelosok Madura. Banyak di
antara tunas-tunas sejati ini datang dari keluarga sederhana di
perkampungan-perkampungan jauh. Tempat-tempat yang bahkan belum dialiri listrik
atau mencapainya mesti berkapal selama 18 jam!
Oleh karenanya tak ada yang ditolak. Orangtua
mereka hanya membayar Rp25.000 per bulan. Sedangkan pesantren ini menolak sama
sekali berbagai jenis bantuan, kecuali BOS. Bahkan program bantuan operasional
sekolah dari pemerintah itu tidak bisa mengakomodasi seluruh santri saking
banyaknya jumlah pencari ilmu di pesantren ini.
Mengalir....mengalir....cerita terus mengalir.
Saya berkali-kali menjeda pembacaan saya akan fiksi Sang Lora untuk menyimak
langsung kalimat beliau. Dua-duanya tak bisa saya dahulukan satu di atas yang
lain.
Sebab, fiksi itu berbicara lebih dari rangkaian
kata yang terbaca. Dalam teks itu saya mendapati sebuah cara pandang, cara
hidup, cara berseni yang begitu istimewa, sebab beliau seorang lora, tentu
saja.
Seorang lora adalah wajah muda sebuah pesantren.
Ia adalah visi yang melahirkan masa depan.
Maka, membaca narasi fiksi ini, yang terasa
lincah dan segar namun tetap dengan nilai kuat yang mengakar bagi saya teramat
menjanjikan.
Menyempurnakan diskusi kami petang itu, Ra
Thohir lalu memanggil lima atau enam santri yang memercikkan air mata saya,
meski dalam tawa.
Keharuan yang aneh.
Anak-anak belasan tahun yang dihadapkan kepada
kami adalah mereka yang belajar macam-macam bahasa asing di sela memenuhi
standar akademik pesantren yang berkitab-kitab.
Satu per satu mereka berbicara lancar dalam
bahasa Jepang, Spanyol, Perancis, Mandarin, Jerman.
Saya tertawa oleh rasa bahagia. Tertawa karena
tidak sanggup membahasakannya. Air mata merembes sebagai gantinya. Anak-anak
ini, meninggalkan kampung-kampung mereka yang jauh dan bahkan susah dicari di
dalam peta.
Di Bata-Bata mereka menanam benih mimpi yang
dirawat dengan hati-hati. Saya melihat benih-benih itu telah bertunas sewaktu
mereka melisankan apa saja dengan bahasa-bahasa yang asing di telinga.
Bukan perkara kecanggihannya. Meski bagi saya
tetap pantas diberi tepukan yang gemuruh, tapi bukan hal itu yang membuat saya
terharu.
Membaca mata anak-anak itu, mencerap api
semangat padanya, kesungguhan, tekad untuk mengubah hidup, amat membakar mata
saya.
Seketika membuat saya berpikir tentang
Indonesia. Saya pada akhirnya menemukan alasan mengapa saya semestinya bahagia,
menjadi Muslim Indonesia.
Melihat wajah-wajah itu yang hanya beberapa nama
mewakili ribuan teman-teman seperjuangan mereka, saya merasa betapa Allah mencintai
Indonesia. Sementara negeri-negeri jauh yang bertauhid sama kini tengah
tercabik-cabik buminya, generasinya, Indonesia justru sedang bersiap hendak
melakukan panen besar peradaban.
"Kami berusaha mandiri. Tidak membebani
santri, alumni, dan pihak manapun. Kami menciptakan unit-unit usaha untuk
membiayai pesantren ini dan kegiatan-kegiatannya. Acara kita sekarang pun
dibiayai oleh keuntungan dari unit-unit ekonomi itu," lanjut ara Thohir.
Acara yang Ra Thohir maksud adalah "Pekan
Mengaji" yang juga mengundang saya sebagai pembicara. Saya, satu-satunya
pembicara yang tidak jelas konpetensinya. Sedangkan acara bertaraf
internasional ini mengundang puluhan profesor dan doktor dari Indonesia, Malaysia
dan Brunei Darrusalam.
Sedangkan saya ini apa?
Keseluruhan acara terus-menerus yang isinya
seminar, pelatihan, kuliah ini menghabiskan biaya lebih dari Rp700 juta.
Pembiayaannya tertutup oleh keuntungan berbagai unit usaha pesantren, salah
satunya jaringan minimarket yang namanya mengingatkan kepada nama saya
'Mastasa".
Semakin detail Ra Thohir berbicara tentang
Bata-Bata semakin saya merasa rontok menjadi remah-remah.
Kiai muda ini berpikir, berdiskusi, bervisi,
mengeksekusi, seribu tahun cahaya jauhnya dari mimpi-mimpi saya.
Malam itu sungguh-sungguh saya merasa Allah
menitipkan pesan kepada udara. Agar manusia semacam saya tak kehilangan asa.
Seolah-olah Ia berkata "Hanya karena orang semacam kamu sibuk dengan
hal-hal tak perlu, bukan berarti Aku tak akan mengirim ribuan mukmin yang akan
menjaga agama ini, menyiapkan masa depan yang gemilang, menghadirkan
kemanfaatan."
Hal-hal tak perlu. Hal-hal yang kadang lebih
menghabiskan energi dibanding manfaat berarti: mengadu pemimpin, menilai
kelompok lain, mengembuskan kebenaran tunggal yang kanibal.
Ah, bahkan ketika udara telah begitu sesak oleh
teriakan-teriakan yang penuh kemarahan, Allah tetap menjaga Indonesia.
Malam terakhir di Bata-Bata, ketika saya dan Cak
Ganteng Ikhsan yang calon doktor dari Australia membedah buku berjudul Lora,
sebuah pertanyaan santri memaksa saya diam beberapa lama.
"Jika menurut Anda kehidupan pesantren
begitu Indahnya, mengapa Anda tidak menjadi santri saja?"
Saya berusaha tak bicara sesuatu yang terdengar
bodoh. "Seperti nasihat yang Anda kutip pernah disampaikan Lora tadi,
bahwa Lora lebih berbahagia memiliki santri di luar Bata-Bata tapi cara
berpikirnya ada di dalam pesantren ini dibanding santri yang tinggal di dalam
pesantren tapi cara berpikirnya ada di luar Bata-Bata. Anggaplah saya kategori
yang pertama," kata saya disambut hiruk pikuk tiga ribu peserta bedah
buku. Tiga ribu!
Islamic Book Fair pun rasanya tak mencatat rekor
itu.
"Tapi...," ujar saya,"..jika
suatu ketika saya memutuskan untuk menjadi santri pondok, saya akan pulang ke
Bata-Bata."
(Kereta meninggalkan Surabaya: Tasaro Gk)
(tulisan ini sepenuhnya milik penulis, Tasaro
Gk)
No comments:
Post a Comment