(sebuah pengantar)
Komitmen bangsa Indonesia terhadap
pendidikan sangat jelas tercermin dalam UUD 1945. Khususnya pasal 31, yang
menjelaskan bahwa: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
Landasan konstitusional komitmen pendidikan inilah yang membuka peluang yang
sebenar-benarnya bagi bangsa Indonesia untuk berbuat baik bagi sistem
pendidikan nasional melalui berbagai kebijakan, bidang pemerintah, dan
pembangunan, termasuk kebijakan ekonomi daerah.[1]
source image : PinClipart |
Apabila disebutkan bahwa titik sentral
masyarakat adalah sekolah dengan pendidikan, maka kepala sekolah berada di
titik paling sentral yang menjadi kekuatan penggerak kehidupan sekolah.[2]
Keberhasilan atau kegagalan suatu sekolah dalam menampilkan kinerjanya secara
memuaskan banyak tergantung pada kualitas kepemimpinan kepala sekolah. Demikian
juga seorang kepala sekolah mempunyai peran pemimpin yang sangat berpengaruh di
lingkungan sekolah yang menjadi tanggung jawabnya.[3]
Jika pada zaman pendidikan yang masih
bersifat sentralistik, peran kepala sekolah hanya melaksanakan petunjuk dan
perintah atasan saja, atau dalam istilah lain kepanjangan tangan dari berokrasi
pemerintahan. Namun kini tugas mereka terutama kepala sekolah jauh lebih berat,
karena berhasil tidaknya pendidikan tergantung kepada kepala sekolah sebagai
penanggung jawab utama pendidikan di sekolah tersebut. Memasuki era globalisasi
yang ditandai dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang semakin hari semakin
pesat perkembangannya sehingga perubahan yang mendasar dalam berbagai bidang
baik politik, ekonomi, budaya dan termasuk pendidikan. Inilah tantangan mutahir
manusia pada abad ini yang perlu diberi jawaban oleh pendidikan kita.[4]
Oleh karena itu, kepala sekolah harus
bisa menjadi uswah hasanah (suri
teladan) dan sekaligus promotor ke arah yang lebih baik. Disamping itu, kepala
sekolah harus berusaha keras menggerakkan para bawahannya untuk berubah,
setidaknya mendukung perubahan yang dirintis kepala sekolah secara proaktif,
dinamis, bahkan progresif.[5]
Selain itu kepala sekolah juga harus memiliki visi dan misi serta strategi
manajemen pendidikan secara utuh dan berorientasi kepada mutu.[6]
Kepala sekolah harus mampu melahirkan
gagasan inovatif yang berguna untuk menghasilkan alternatif kebijakan dalam
membangun sistem pendidikan yang efisien, bermutu sesuai dengan kebutuhan
masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, kepala sekolah sebagai pimpinan
pendidikan harus dapat mengenal dan mengerti berbagai kedudukan, keadaan dan
apa yang diinginkan baik oleh guru maupun pegawai, tata usaha, serta pembantu
lainnya. Sehingga dengan adanya kerja sama yang baik dapat menghasilkan pikiran
yang harmonis dalam usaha perbaikan sekolah.[7]
Keberhasilan kepala sekolah dalam
pelaksanaan program kebijakan diasumsikan merupakan hasil dari kerja keras dan
kepegawaian kepala sekolah dalam membuat kebijakan-kebijakan operasional dalam
meningkatkan profesionalitas guru.
Asumsi ini bertolak dari kerangka pikir bahwa kunci keberhasilan pendidikan di
sekolah pada dasarnya bergantung pada kebijakan
kepala sekolah/madrasah dalam meningkatkan profesionalitas guru didalam
melaksanakan suatu kepemimpinan pendidikan dan cara bertindak. Demikian pula,
keberhasilan itu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan
kepemimpinan kepala sekolah. Kebijakan kepala sekolah dalam proses meningkatkan
profesionalitas guru termasuk upaya kepala sekolah untuk mengetahui kemampuan
dan perilaku setiap para pengajar yang dipengaruhi tidak hanya oleh ilmu,
melainkan keterampilan yang diperoleh selama peserta didik mengalami proses
belajar mengajar, motivasi kerja, sikap, latar belakang budaya dan pengaruh
lingkungan.
Menurut Nichols, Kebijakan adalah suatu
keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambilan
keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan berulang dan rutin yang terprogram
atau terkait dengan aturan-aturan keputusan. Pendapat di atas menunjukkan bahwa
kebijakan berarti seperangkat tujuan-tujuan prinsip-prinsip serta
peraturan-peraturan yang membimbing suatu organisasi.[8]
Tugas kepala sekolah selaku pemimpin
ialah membantu para guru mengembangkan kesanggupan-kesanggupan mereka secara
maksimal dan menciptakan suasana hidup sekolah yang sehat yang mendorong guru,
pegawai-pegawai tata usaha, murid-murid dan orang-orang tua murid untuk
mempersatukan kehendak, pikiran, dan tindakan dalam kegiatan-kegiatan kerja
sama yang efektif bagi tercapainya tujuan-tujuan sekolah.[9]
Di samping itu, kepala sekolah harus mampu menjadi promotor ke arah yang lebih
baik, dan mampu melakukan perencanaan, mengambil kebijakan, melaksanakan, serta
mengevaluasi keberhasilan dari semua program. Kepala sekolah berkewajiban
menciptakan hubungan yang sebaik-baiknya dengan para guru, staf dan siswa,
sebab esensi kepemimpinan adalah kepengikutan.[10]
Terlepas dari perencanaan dan evaluasi
progaram, hal yang sangat penting dilaksanakan kepala sekolah secara baik
adalah dalam hal menentukan dan mengambil kebijakan. Penentuan dalam
pengambilan kebijakan oleh kepala sekolah dapat memberikan dampak yang cukup besar
terhadap perilaku guru. Apabila kebijakan yang diambil kepala sekolah baik
yakni cara pengambilannya mengedepakan musyawarah, demi kepentingan bersama,
termasuk juga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, dan mudah di
implementasikan. Maka hal tersebut akan mendorong perilaku baik bawahannya pada
khususnya para guru. Tetapi sebaliknya, apabila kebijakan yang diambil kepala
sekolah kurang baik yakni cenderung untuk kepentingan pribadi, atau golongan,
tidak melibatkan semua staf-stafnya dan sulit diimplementasikan, maka akan
menghambat terwujudnya perilaku baik semua bawahannya, termasuk para guru.
Dalam hal ini semua warga sekolah, pada khususnya para guru akan cenderung
berperilaku menentang, melanggar terhadap aturan yang menjadi acuan yang harus
diikuti dalam sebuah kebijakan, atau bahkan melalaikan tugas yang menjadi
kewajiban seperti frekuensi absent yang tinggi, dalam terlambat, atau tidak
disiplin, dan lain-lain.
Dengan demikian, kepala sekolah
dituntut untuk mampu mengambil kebijakan dengan baik. Kemampuan mengambil
kebijakan akan tercermin dari kemampuanya dalam mengambil kebijakan bersama
tenaga kependidikan di sekolah, dan pengambilan kebijakan untuk kepentingan
internal maupun eksternal sekolah. Dengan demikiaan akan dapat mendorong dan
menggerakkan perilaku baik bawahannya.
Sehingga dapat mensukseskan proses pembelajaran, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan mutu pendidik di institusinya.
Dalam pengelolaan interaksi belajar,
guru harus menyadari bahwa pendidikan dirumuskan dari sudut normatif ,
pelaksanaan interaksi belajar mengajar adalah untuk menanamkan suatu nilai
kedalam diri siswa. Sedangkan proses teknik adalah sebuah kegiatan yang praktis
yang berlansung dalam suatu masa untuk menanamkan nilai tersebut ke dalam diri
siswa, yang sekaligus untuk mencapai
tujuan yang telah diterapkan.[11]
Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.[12]
Realitas menunjukan bahwa mutu guru di
Indonesia dinilai masih memperihatinkan.[13]
Maka dari itu, untuk menghadapi era yang penuh dengan persaingan, dibutuhkan
guru yang mampu menciptakan proses belajar mengajar yang efektif dan inovatif.
Sehingga diperlukan perubahan strategi dan model pembelajaran yang sedemikian
rupa agar dapat memberikan nuansa yang menyenangkan bagi guru dan peserta
didik.
Penelitian Suyono tahun 1998 tentang
mutu guru di berbagai jenjang pendidikan dikutip Haduyanto dalam bukunya
menujukan bahwa: (1) guru kurang mampu merefleksikan apa yang pernah ada, (2)
dalam pelaksanakan tugas, guru pada umumnya terpancing untuk memenuhi target
minimal, yaitu agar siswa mampu menjawab tes dengan baik, (3) para guru enggan
beralih dari model mengajar yang sudah mereka yakini tepat, (4) guru selalu
mengeluh tentang kurang lengkap dan kurang banyaknya buku paket. Mereka
khawatir kalau yang diajarkan tidak sesuai dengan soal-soal yang akan muncul
dalam UUB, Ebta, dan Ebtanas, (5) kecenderungan guru dalam melaksanakan tugas
mengajar hanya memindahkan informasi dan ilmu pengatahuan saja. Dimensi
pengembangan kemampuan berfikir logis, kritis, dan kreatif kurang mendapat
perhatian.[14]
[1]
M. Sirozi, Politik Pendidikan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
201-202.
[2]
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah
Tinjauan Toeritik dan Permasalahannya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2007), 82.
[3]
M. Ngalim Purwanto, Administrasi Dan
Supervisi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), 73.
[4]
Muzzayin Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam, (Jakarta:PT. Bumi Aksara, 2003),
41.
[5]
Mujammil Qomar, Manajeman Pendidikan
Islam (Jakarta: Erlangga, 2007), 290.
[6]
E. Mulyasa, Manajeman Kepala Sekolah
Profesional, (Bandung: Raja Rosdakarya, 2013), 25.
[7]
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Sumarang, PBM-PAI
Di Sekolah, Eksintensi Dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998),
cet. I, 126.
[8]
https://media. Neliti.com/publications/124566-ID-kebijakan kebijakan
kepala-sekolah-dalam.pdf, diakses pada tanggal 15 November 2018.
[9]
M. Ngalim Purwanto, Administrasi Dan Supervisi Pendidikan,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
73-74.
[10]
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah
... Op. Cit., 88.
[11]
Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar
Dan Kompetensi Guru, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994), 17.
[12]
Kusandar, Guru Profesiorofnal
(Implementasi Kurikulum Tingkatan Satuan Pendidikan (KTSP) Dan Sukses Dalam
Sertifikasi Guru), (Jakarta
PT Raja Grafindo Persada 2010), 54.
[13]
Ibid; 41
[14]
Haduyanto, Mencari Sosok Desentralisasi
Manajeman Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 18-19
No comments:
Post a Comment