Tuesday, October 29, 2019

Kebijakan Kepala Sekolah dan Mutu Pendidik


(sebuah pengantar)

Komitmen bangsa Indonesia terhadap pendidikan sangat jelas tercermin dalam UUD 1945. Khususnya pasal 31, yang menjelaskan bahwa: “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.” Landasan konstitusional komitmen pendidikan inilah yang membuka peluang yang sebenar-benarnya bagi bangsa Indonesia untuk berbuat baik bagi sistem pendidikan nasional melalui berbagai kebijakan, bidang pemerintah, dan pembangunan, termasuk kebijakan ekonomi daerah.[1]
source image : PinClipart

Apabila disebutkan bahwa titik sentral masyarakat adalah sekolah dengan pendidikan, maka kepala sekolah berada di titik paling sentral yang menjadi kekuatan penggerak kehidupan sekolah.[2] Keberhasilan atau kegagalan suatu sekolah dalam menampilkan kinerjanya secara memuaskan banyak tergantung pada kualitas kepemimpinan kepala sekolah. Demikian juga seorang kepala sekolah mempunyai peran pemimpin yang sangat berpengaruh di lingkungan sekolah yang menjadi tanggung jawabnya.[3]

Jika pada zaman pendidikan yang masih bersifat sentralistik, peran kepala sekolah hanya melaksanakan petunjuk dan perintah atasan saja, atau dalam istilah lain kepanjangan tangan dari berokrasi pemerintahan. Namun kini tugas mereka terutama kepala sekolah jauh lebih berat, karena berhasil tidaknya pendidikan tergantung kepada kepala sekolah sebagai penanggung jawab utama pendidikan di sekolah tersebut. Memasuki era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu dan teknologi yang semakin hari semakin pesat perkembangannya sehingga perubahan yang mendasar dalam berbagai bidang baik politik, ekonomi, budaya dan termasuk pendidikan. Inilah tantangan mutahir manusia pada abad ini yang perlu diberi jawaban oleh pendidikan kita.[4]
Oleh karena itu, kepala sekolah harus bisa menjadi uswah hasanah (suri teladan) dan sekaligus promotor ke arah yang lebih baik. Disamping itu, kepala sekolah harus berusaha keras menggerakkan para bawahannya untuk berubah, setidaknya mendukung perubahan yang dirintis kepala sekolah secara proaktif, dinamis, bahkan progresif.[5] Selain itu kepala sekolah juga harus memiliki visi dan misi serta strategi manajemen pendidikan secara utuh dan berorientasi kepada mutu.[6]
Kepala sekolah harus mampu melahirkan gagasan inovatif yang berguna untuk menghasilkan alternatif kebijakan dalam membangun sistem pendidikan yang efisien, bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan, kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan harus dapat mengenal dan mengerti berbagai kedudukan, keadaan dan apa yang diinginkan baik oleh guru maupun pegawai, tata usaha, serta pembantu lainnya. Sehingga dengan adanya kerja sama yang baik dapat menghasilkan pikiran yang harmonis dalam usaha perbaikan sekolah.[7]
Keberhasilan kepala sekolah dalam pelaksanaan program kebijakan diasumsikan merupakan hasil dari kerja keras dan kepegawaian kepala sekolah dalam membuat kebijakan-kebijakan operasional dalam meningkatkan  profesionalitas guru. Asumsi ini bertolak dari kerangka pikir bahwa kunci keberhasilan pendidikan di sekolah pada dasarnya bergantung pada kebijakan  kepala sekolah/madrasah dalam meningkatkan profesionalitas guru didalam melaksanakan suatu kepemimpinan pendidikan dan cara bertindak. Demikian pula, keberhasilan itu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan kepemimpinan kepala sekolah. Kebijakan kepala sekolah dalam proses meningkatkan profesionalitas guru termasuk upaya kepala sekolah untuk mengetahui kemampuan dan perilaku setiap para pengajar yang dipengaruhi tidak hanya oleh ilmu, melainkan keterampilan yang diperoleh selama peserta didik mengalami proses belajar mengajar, motivasi kerja, sikap, latar belakang budaya dan pengaruh lingkungan.
Menurut Nichols, Kebijakan adalah suatu keputusan yang dipikirkan secara matang dan hati-hati oleh pengambilan keputusan puncak dan bukan kegiatan-kegiatan berulang dan rutin yang terprogram atau terkait dengan aturan-aturan keputusan. Pendapat di atas menunjukkan bahwa kebijakan berarti seperangkat tujuan-tujuan prinsip-prinsip serta peraturan-peraturan yang membimbing suatu organisasi.[8]
Tugas kepala sekolah selaku pemimpin ialah membantu para guru mengembangkan kesanggupan-kesanggupan mereka secara maksimal dan menciptakan suasana hidup sekolah yang sehat yang mendorong guru, pegawai-pegawai tata usaha, murid-murid dan orang-orang tua murid untuk mempersatukan kehendak, pikiran, dan tindakan dalam kegiatan-kegiatan kerja sama yang efektif bagi tercapainya tujuan-tujuan sekolah.[9] Di samping itu, kepala sekolah harus mampu menjadi promotor ke arah yang lebih baik, dan mampu melakukan perencanaan, mengambil kebijakan, melaksanakan, serta mengevaluasi keberhasilan dari semua program. Kepala sekolah berkewajiban menciptakan hubungan yang sebaik-baiknya dengan para guru, staf dan siswa, sebab esensi kepemimpinan adalah kepengikutan.[10]
Terlepas dari perencanaan dan evaluasi progaram, hal yang sangat penting dilaksanakan kepala sekolah secara baik adalah dalam hal menentukan dan mengambil kebijakan. Penentuan dalam pengambilan kebijakan oleh kepala sekolah dapat memberikan dampak yang cukup besar terhadap perilaku guru. Apabila kebijakan yang diambil kepala sekolah baik yakni cara pengambilannya mengedepakan musyawarah, demi kepentingan bersama, termasuk juga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan, dan mudah di implementasikan. Maka hal tersebut akan mendorong perilaku baik bawahannya pada khususnya para guru. Tetapi sebaliknya, apabila kebijakan yang diambil kepala sekolah kurang baik yakni cenderung untuk kepentingan pribadi, atau golongan, tidak melibatkan semua staf-stafnya dan sulit diimplementasikan, maka akan menghambat terwujudnya perilaku baik semua bawahannya, termasuk para guru. Dalam hal ini semua warga sekolah, pada khususnya para guru akan cenderung berperilaku menentang, melanggar terhadap aturan yang menjadi acuan yang harus diikuti dalam sebuah kebijakan, atau bahkan melalaikan tugas yang menjadi kewajiban seperti frekuensi absent yang tinggi, dalam terlambat, atau tidak disiplin, dan lain-lain.
Dengan demikian, kepala sekolah dituntut untuk mampu mengambil kebijakan dengan baik. Kemampuan mengambil kebijakan akan tercermin dari kemampuanya dalam mengambil kebijakan bersama tenaga kependidikan di sekolah, dan pengambilan kebijakan untuk kepentingan internal maupun eksternal sekolah. Dengan demikiaan akan dapat mendorong dan menggerakkan  perilaku baik bawahannya. Sehingga dapat mensukseskan proses pembelajaran, yang pada akhirnya dapat meningkatkan mutu pendidik di institusinya.
Dalam pengelolaan interaksi belajar, guru harus menyadari bahwa pendidikan dirumuskan dari sudut normatif , pelaksanaan interaksi belajar mengajar adalah untuk menanamkan suatu nilai kedalam diri siswa. Sedangkan proses teknik adalah sebuah kegiatan yang praktis yang berlansung dalam suatu masa untuk menanamkan nilai tersebut ke dalam diri siswa,  yang sekaligus untuk mencapai tujuan yang telah diterapkan.[11]
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan  pendidikan menengah.[12]
Realitas menunjukan bahwa mutu guru di Indonesia dinilai masih memperihatinkan.[13] Maka dari itu, untuk menghadapi era yang penuh dengan persaingan, dibutuhkan guru yang mampu menciptakan proses belajar mengajar yang efektif dan inovatif. Sehingga diperlukan perubahan strategi dan model pembelajaran yang sedemikian rupa agar dapat memberikan nuansa yang menyenangkan bagi guru dan peserta didik.
Penelitian Suyono tahun 1998 tentang mutu guru di berbagai jenjang pendidikan dikutip Haduyanto dalam bukunya menujukan bahwa: (1) guru kurang mampu merefleksikan apa yang pernah ada, (2) dalam pelaksanakan tugas, guru pada umumnya terpancing untuk memenuhi target minimal, yaitu agar siswa mampu menjawab tes dengan baik, (3) para guru enggan beralih dari model mengajar yang sudah mereka yakini tepat, (4) guru selalu mengeluh tentang kurang lengkap dan kurang banyaknya buku paket. Mereka khawatir kalau yang diajarkan tidak sesuai dengan soal-soal yang akan muncul dalam UUB, Ebta, dan Ebtanas, (5) kecenderungan guru dalam melaksanakan tugas mengajar hanya memindahkan informasi dan ilmu pengatahuan saja. Dimensi pengembangan kemampuan berfikir logis, kritis, dan kreatif kurang mendapat perhatian.[14]




[1] M. Sirozi, Politik Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),  201-202.
[2] Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah Tinjauan Toeritik dan Permasalahannya, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), 82.
[3] M. Ngalim Purwanto, Administrasi Dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),  73.
[4] Muzzayin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:PT. Bumi Aksara, 2003),  41.
[5] Mujammil Qomar, Manajeman Pendidikan Islam (Jakarta: Erlangga, 2007),  290.
[6] E. Mulyasa, Manajeman Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: Raja Rosdakarya, 2013),   25.
[7] Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Sumarang, PBM-PAI Di Sekolah, Eksintensi Dan Proses Belajar Mengajar Pendidikan Agama Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1998),  cet. I,  126.
[8] https://media. Neliti.com/publications/124566-ID-kebijakan kebijakan kepala-sekolah-dalam.pdf, diakses pada tanggal 15 November 2018.
[9] M. Ngalim Purwanto,  Administrasi Dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),  73-74.
[10] Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah ... Op. Cit., 88.
[11] Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar Dan Kompetensi Guru, (Surabaya: Usaha Nasional, 1994),  17.
[12] Kusandar, Guru Profesiorofnal (Implementasi Kurikulum Tingkatan Satuan Pendidikan (KTSP) Dan Sukses Dalam Sertifikasi Guru), (Jakarta PT Raja Grafindo Persada 2010), 54.
[13] Ibid; 41
[14] Haduyanto, Mencari Sosok Desentralisasi Manajeman Pendidikan Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004),  18-19

No comments:

Post a Comment