Sunday, November 10, 2019

Peran Kepemimpinan Keluarga pada Prestasi Belajar



Pendidikan bukanlah kata yang asing di telinga masyarakat, awam sekalipun. Karena seiring dengan laju perkembangan zaman, masyarakat Indonesia semakin tersadarkan tentang pentingnya pendidikan. Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan sama sekali, mustahil suatu kelompok manusia dapat hidup berkembang sejalan dengan aspirasi cita-cita untuk maju, sejahtera dan bahagia menurut konsep pandangan hidup mereka. Di dalam GBHN tahun 1973 disebutkan bahwa “Pendidikan hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup”.
source image: doingfamilyright.com

Menurut Undang-undang Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[1]
Tujuan mulia Pendidikan nasional adalah mencerdaskan bangsa dan mengembangkan masyarakat Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, memiliki keterampilan dan pengetahuan, kesehatan jasmani dan rohani serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Keluarga merupakan batu pertama bagi pembinaan setiap masyarakat. Ia adalah langkah pertama untuk membina seseorang. Karena itulah, manhaj pendidikan moral dalam islam harus dimulai sejak dini sekali. Pada dasarnya, ia merupakan asas yang dipertimbangkan bagi pembinaan keluarga yang kokoh dan harmonis. Sesungguhnya pendidikan moral inilah yang menjamin terwujudnya keluarga islam yang kuat, yang penuh warna rasa cinta dan menjamin terbentuknya seorang manusia yang sehat tubuh akal dan jiwanya.
Mendidik anak merupakan salah satu tugas kewajiban orang tua sebagai konsekuensi dari komitmennya untuk membina rumah tangga melalui pernikahan. Anak yang lahir ke dunia pada hakikatnya merupakan titipan dari Allah swt. kepada para orang tua untuk dididik dan disiapkan bagi peranannya di masa yang akan datang. Kondisi dan kualitas kehidupan seseorang di masa yang akan datang sangat tergantung dari sejauh mana mereka telah menanamkan investasinya melalui pendidikan bagi anak-anaknya. Mereka yang akan menikmati kebahagiaan di hari tuanya adalah mereka yang sejak dini telah memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya melalui pendidikan yang baik dan bermakna.
Anak merupakan rahmat dari Allah SWT, kepada orang tuanya yang harus disyukuri, dididik dan dibina agar menjadi orang yang baik, berkepribadian yang kuat dan berakhlak terpuji, merupakan keinginan setiap keluarga terutama orang tua dan semua guru.
Usia dini merupakan masa penting, karena dalam masa ini ada era yang dikenal dengan masa keemasan (golden age). Masa keemasan hanya terjadi satu kali dalam perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini merupakan masa kritis bagi perkembangan anak. Jika dalam masa ini anak kurang mendapat perhatian dalam hal pendidikan, perawatan, pengasuhan dan layanan kesehatan serta kebutuhan gizinya dikhawatirkan anak tidak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal.
Sejak lahir seorang anak manusia memiliki kurang lebih 100 miliyar sel otak. Sel-sel otak yang ini saling berhubungan dengan sel-sel syaraf. Sel-sel otak ini tidak akan tumbuh dan berkembang dengan pesat tanpa adanya stimulasi dan didayagunakan (Gutama,dkk., 2005:3). Di sinilah perlunya pendidikan sejak usia dini. Pentingnya pendidikan anak sejak usia dini juga didasarkan pada UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menyatakan bahwa pendidikan anak usia dini adalah salah satu upaya pembinaan yang ditujuak untuk anak sejak lahir sampai dengan 6 tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar nak memiliki kesiapan dalam memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 butir 14).[2] Berdasarkan hal-hal tersebut maka jelaslah bahwa pendidikan sejak usia dini sangatlah penting. \\
Keluarga adalah inti masyarakat. Selain disebut sebagai masyarakat primer, juga bisa disebut sebagai pusat pendidikan pertama. Sebagai masyarakat, keluarga terdiri atas orang tua beserta anak-anaknya, yang kesemuanya dijalin oleh hubungan rasa cinta alami, yang karenanya cukup mendalam. Di sini anak mulai mengenali kehidupan dan pendidikannya. Keadaan anak sebelum lahir ditentukan oleh faktor keturunan, baik jasmani maupun rohani.
Orang tua dan para pendidik hendaknya benar-benar menyadari bahwa sesungguhnya anak sedang berada dalam proses perkembangan yang berkesinam-bungan menuju keadaan dewasa dan matang. Dalam proses perkembangannya anak dihadapkan dengan sejumlah tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhinya agar mencapai tahap kematangan yang sebaik-baiknya. Pendidikan pada hakikatnya merupakan bentuk upaya membantu proses perkembangan ini. Orang tua perlu menjalin hubungan dengan anak-anak agar dapat menuntun dan mengajari mereka. Terlalu banyak pengaruh luar yang bersaing untuk menguasai anak-anak sekarang, sehingga orang tua tidak boleh berasumsi bahwa hanya karena mereka orang tua, maka mereka harus dan akan ditaati.[3]
Dalam Islam, pendidik yang pertama dan utama bagi seorang anak adalah orang tua, yang bertanggung jawab terhadap anak dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi afektif, potensi kognitif, dan potensi psikomotorik. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits Nabi yang berbunyi sebagai berikut:
ما من مولود إلا يُولد على الفطرة فأبواه يهوّدانه او ينصّرانه او يمجّسانه. (رواه مسلم)
Tidak seorang anak dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nashrani atau Majusi” (HR. Muslim).[4]
Keluarga juga merupakan satuan terkecil dari kehidupan bermasyarakat, yang merupakan suatu organisasi bio-psiko-sosial jiwa, raga dan sosial, dimana para anggota keluarganya hidup dalam aturan-aturan tertentu yang kekhasannya ditandai dari kepribadian masing-masing individu terutama figur ayah atau suami dan ibu atau istri (orang tua). Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.[5]
Peran orang tua dalam mendidik anak adalah karena orang tua merupakan tempat pendidikan yang memiliki pengaruh signifikan bagi perkembangan dan kedewasaan seorang anak. Jika kita amati peranan seorang ayah dalam fungsi dan tanggung jawab pendidikan dalam keluarga adalah; sumber kekuasaan dalam keluarga, penghubung intern keluarga dengan masyarakat atau dunia luar, hakim atau yang mengadili jika terjadi perselisihan, dan pendidik dalam segi-segi rasional.[6]
Pada hakikatnya, seorang ibu yang sebenarnya memegang peranan penting dan mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pendidikan anak-anaknya, karena ibulah yang paling lama bergaul dengan anak-anak selama sehari-semalam. Ibu yang memberi makan, minum, memelihara dan lain sebagainya, itulah sebabnya anak terkadang lebih cinta kepada ibunya daripada keluarga lainnya. Adapun gambaran seorang ibu sesuai dengan fungsi dan tanggung jawab dalam pendidikan anak adalah sebagai sumber dan pemberi kasih sayang, pengasuh dan pemeliharaan, tempat mencurahkan isi hati, pembimbing hubungan pribadi, dan pendidik dalam segi-segi emosional.[7]
Pendidikan bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab sekolah akan tetapi juga tanggung jawab keluarga, masyarakat dan pemerintah. Orang tua mempunyai peranan utama dan pertama dalam upaya meningkatkan prestasi belajar anak, karena kehidupan anak sehari-harinya tidak lepas dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan orang tuanya. Disamping itu, orang tua memiliki tanggung jawab dalam mendukung kesuksesan kegiatan anak selama mengikuti proses pendidikan.[8]
Mendidik anak tidak bisa dikatakan mudah, bahkan sebagai orang tua –yang melahirkan anak—tidak selamanya bisa dan terus diikuti anak. Orang tua harus benar-benar bisa memposisikan dan menfungsikan diri sebagai orang tua dan pemimpin yang baik. Sesuai dengan sabda Nabi yang berbunyi:
كلكم راع وكلكم مسؤول عن رعيته. (الحديث)
Artinya: “setiap diri kalian adalah pemimpin, dan setiap (kepemimpinan) kalian akan dimintakan pertanggungjawaban.” (al-Hadits)
Ayah memimpin dalam keluarga sebagai kepala keluarga, ibu memimpin rumah dan seisinya sebagai ibu rumah tangga, dan keduanya memimpin anak sebagai orang tua seutuhnya. Kuncinya adalah orang tua harus sedikit memberi kuliah dan lebih banyak mendengar; sedikit mendikte dan lebih banyak menunjukkan; sedikit mengarahkan dan lebih banyak bertanya; dan, membangun akhlak dari dalam dan bukan menuntunnya.[9]
Sedangkan seorang anak akan menjadi baik ataukah justru menjadi beban dalam masyarakat, sebagian besar merupakan refleksi dari pendidikan yang didapatkannya dalam keluarga. Orang tua dalam keluarga apabila dapat berperan semaksimal mungkin maka akan dapat melahirkan generasi penerus yang lebih dari pada generasi kita pada saat ini.
Orang tua yang memimpin anak-anaknya tidak bisa berpikir bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan anak justru semuanya baik-baik saja. Mendikte anak apa yang harus dilakukan pada situasi tertentu dan meminta anak mengikuti arahan tersebut, tidak sama dengan mengajarkannya menghadapi permasalahan ketika tidak ada orang tua yang mendampingi dan ada tekanan teman dan atau pengaruh lain.[10]
Terdapat beberapa faktor yang bisa mempengaruhi terhadap prestasi belajar siswa. Dalyono menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa belajar adalah faktor internal yaitu faktor yang berasal dari dalam peserta didik yang belajar, seperti kesehatan, intelegensi dan bakat, minat, motivasi, dan cara belajar; dan faktor eksternal yang berasal dari luar dirinya, misalkan keluarga, sekolah, masyarakat, dan lingkungan sekitar.[11]





[1] Tim Redaksi Fokus Media. Standar Nasional Pendidikan. (Bandung : Fokus Media). 2005, hal. 95
[2] Dispendiknas. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Jurnal hal. 3
[3] Maurice J. Elias, dkk. Emotionally Intelligent Parenting. Terj. M. Jauharul Fuad. (Bandung : Kaifa. 2000), hal. 86
[4] Imam Muslim. Shahih Muslim, Juz II (Surabaya : Syarikat ‘Alawi) tt., hal. 458
[5] Hasbullah. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada) 2006, hal. 89
[6] Ibid. 87
[7] Djumransyah dan Abdul Malik Karim Amrullah. Pendidikan Islam. (Malang : UIN Malang Press) 2007, hal. 85
[8] Muwahid Shulhan dan Soim. Manajemen Pendidikan Islam. (Yogyakarta : Teras) 2013, hal 82
[9] Elias, dkk. Emotionally .., hal. 86
[10] Ibid. 87
[11] Ach. Zubaidi Sholeh. Pengaruh Pembinaan Guru Terhadap Prestasi Belajar Siswa. Skripsi STAI Al-Khairat. 2012, hal 5

No comments:

Post a Comment