Mungkin
bukan hal buruk, namun aku rasa bukan pula hal baik jika terus terulang.
Aku masih
ingat bagaimana pertama kali aku mengalaminya. Saat itu, kami baru saja pulang
dari rumah nenek, selepas dua hari berada disana dalam rangka lebaran.
Kebetulan aku bersama adikku, Khotib, bersama mama ikut angkutan umum.
Sedangkan bapak bersama adik Amin dan mbak Bibi naik motor. Bukan tanpa alasan
kenapa kami tidak satu motor atau sekalian naik angkutan umum bersamaan,
bapakku termasuk orang yang suka pusing kalau naik mobil, sedangkan motor yang
ada saat itu tidak mampu jika harus membawa 6 orang sekaligus. Dan solusinya ya
terpaksa kami harus memecah. Bapak bawa dua orang dan mama juga bersama dua
orang.
Tidak ada
yang aneh pada hari itu, aku sudah terbiasa naik mobil angkutan umum dengan
berbagai macam jenis, keadaan dan kondisi yang sulit. Dari yang berjenis bak
terbuka, carry, L300, bahkan truk. Panas, hujan sudah tidak asing lagi. apalagi
pernah kami juga ikut mobil sejenis carry bersama dua sepeda motor didalamnya.
Truk dengan mengangkut mobil juga. Dan kalau masalah bau yang ada didalam mobil,
ya jangan ditanya lagi, maklum, kendaraan yang ada memang untuk antar jemput
dari satu pasar ke pasar lainnya, kebayangkan bagaimana keadaan orang beserta
bawaannya.
Kami
memberhentikan angkutan berjenis pick-up di Juwer dengan arah Pasar Karang Penang,
kemudian dari Pasar Karang Penang kami berganti angkutan carry, aku masih ingat
berwarna hijau dengan sekitaran 12 orang penumpang ditambah sopir dan keneknya,
aku duduk di kursi tengah dibagian tengah disampin kananku ada adik Khotib dan
disampingnya lagi didekat jendela ada mama, sedangkan disamping kiriku yang
merupakan kenek yang duduk pada bangku kecil dari kayu. Aku menghadap kearah
depan. Sedangkan didepanku ada dua orang perempuan penjual ikan dengan barang
bawaannya, dan satu lagi seorang laki-laki tanggung dekat pintu sambil memegang
potongan kaki sapi utuh menggelantung. Mereka duduk dikursi panjang yang
terbuat dari kayu, kami mengenalnya sebagai kursi maling, bukan karena yang
biasa duduk disana adalah maling, tapi karena memang kursi ini adalah illegal
dan melanggar aturan hukum, ya jika bertemu pihak berwajib sih! Dari sini kami
menuju ke Pasar Palengaan.
Awalnya
tak ada yang aneh, semua ini sudah menjadi hal yang biasa dalam setiap
perjalanan kami.
Namun lama kelamaan aku merasa seperti ada hal berat dikepalaku, bau dari bak pembawa ikan tepat dedepanku, lain lagi dengan bau keringat penumpangnya yang cuma kami bertiga yang berpakaian rapi sedang yang lain baru saja bergelut dari dalam pasar, begitu juga angin dari arah pintu dengan bau daging ditambah pula cuaca panas dari jalan sudah berhasil membuat kepalaku semakin berat dan pusing.
Namun lama kelamaan aku merasa seperti ada hal berat dikepalaku, bau dari bak pembawa ikan tepat dedepanku, lain lagi dengan bau keringat penumpangnya yang cuma kami bertiga yang berpakaian rapi sedang yang lain baru saja bergelut dari dalam pasar, begitu juga angin dari arah pintu dengan bau daging ditambah pula cuaca panas dari jalan sudah berhasil membuat kepalaku semakin berat dan pusing.
"Ma!
Kok aku tiba-tiba kayak mau muntah?" aku ngasih tau mama yang saat itu
sambil memeluk khotib yang sedang mengantuk.
"masa'?
biasanya kamu nggak pernah mabuk darat?" sepertinya mama juga heran
denganku.
Alhasil
selama perjalanan itu aku berusaha keras menahan perutku agar tidak benar-benar
muntah. Hingga akhirnya kami sampai di pemberhentian Pasar Palengaan. Aku
menjadi lega karena dengan ini aku bisa terlepas dari pusing, pikirku. Namun
ternyata tidak. Meski kami akhirnya berganti angkutan L300 bahkan disini lebih
tenang karena hanya ada sekitar lima orang ditambah sopir dan
sepertinya ia tidak mebawa kenek, rasa mual dalam perutku masih terasa, bahkan
meski akhirnya aku sudah sampai ditujuan akhir dan turun.
Aku
merasa sudah tidak kuat lagi.
"Uweekkkk……!!!!"
tumpahlah semua yang ada didalam perutku. Sekitar tiga kali aku muntah hingga
aku merasa sudah tidak ada lagi yang tersisa. Mama hanya merasa heran dengan
membantu memijat belakang leherku. Sedangkan khotib hanya tertawa mengetahui
kakaknya seperti ini.
Dari
sinilah akhirnya 'penyakit' ini bermula. Sudah tidak ada lagi keakraban yang
bisa aku dapatkan dari mobil. Jika dulu aku bisa sering kejar-kejaran bersama
teman-temanku untuk dapat naik keatas bak mobil dijalanan pelosok kampungku
sekarang aku mesti mikir banyak dulu untuk sekedar mendekatinya. Kecuali jika
dalam keadaan kepepet dan mau tidak mau harus naik, maka dengan terpaksa lah!
Dan
setelah akhirnya aku sampai di Negara ini, aku pikir aku telah berhasil
menghilangkannya mengingat saat dari pemberangkatan dahulu sampai pertama kali
aku menginjakkan kaki disini, selama hampir dua harian aku keluar masuk mobil
tapi tidak merasakan apa-apa. Ternyata makin kesini makin parah. Boro-boro
masuk, sudah tau bakal ikut pun sudah mulai nguap dan pusing duluan. Huft…
mengapa dunia ini begitu kejam! Dan mengapa bau mobil-mobil disini semuanya
selalu sukses membuatku puyeng enggak kepalang?
Ada
yang lebih aku takutkan, aku takut ini semakin menjadi yang sampai membawaku
pada jenjang trauma, amit-amit yah! Mungkin aku tidak bisa berharap dapat
sembuh dalam waktu singkat. Namun setidaknya aku berharap aku akan kuat hingga
akhirnya aku pulang nanti. Perjalanan semakin panjang
No comments:
Post a Comment